Jumat, 01 Juli 2011

Mencetak Anak Percaya Diri


Rahasia di balik kepercayaan diri adalah sebuah konsep diri positif. Jika orangtua ingin agar anak tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, jalan yang harus ditempuh adalah membentuk konsep diri yang positif dalam diri anak. Berikut ini akan dibahas bagaimana orangtua dapat menanamkan konsep diri yang positif dalam diri anak.

Arti konsep diri yang positif
Seseorang yang mempunyai konsep diri positif mempunyai cara pandang yang positif terhadap dirinya. Ia memandang dirinya baik, merasa senang dengan kelebihannya, namun juga mampu menerima dengan ikhlas kekurangannya, sehingga nyaman dan bahagia menjadi dirinya sendiri. Meski mengetahui dengan baik kelemahan-kelemahannya, ia tidak suka menjelek-jelekkan diri sendiri atau mencaci-maki diri sendiri. Ia merasa optimis pada dirinya, percaya pada kemampuannya, sehingga penuh semangat dan tidak mudah menyerah dalam berjuang.

Manfaat konsep diri yang positif
Anak yang mempunyai konsep diri positif merasa senang dan bahagia dengan dirinya sendiri. Ini membuat anak lebih mampu menikmati hidup dan keberadaan dirinya. Dari luar, anak pun tampil sebagai pribadi yang ceria dan menyenangkan. Konsep diri yang positif juga membuat anak menjadi tangguh dalam mengejar tujuan, optimis, tidak mudah menyerah ketika menemui tantangan. Konsep diri yang positif ternyata juga menjauhkan anak dari berbagai gangguan perilaku. Berbagai gangguan perilaku anak dan remaja berakar dari harga diri anak yang rendah, mulai dari kecemasan, depresi, perilaku suka bohong, suka mengolok-olok orang, agresif, maupun berbagai perilaku antisosial lainnya, semuanya dilatarbelakangi oleh harga diri yang rendah, atau dengan kata lain, konsep diri yang negatif. Jadi, konsep diri yang positif memang besar manfaatnya dalam hidup seseorang.


Membentuk konsep diri positif dalam diri anak
Pembentukan konsep diri dimulai sejak masa kanak-kanak, bahkan sesungguhnya sejak bayi. Anak melihat bagaimana orang-orang dekat memperlakukan dirinya, dan dari situ lah mereka belajar memandang dirinya sendiri. Ketika orangtua dan juga orang-orang sekitar memperlakukan anak dengan baik sehingga anak merasa dicintai, anak merasa dirinya berharga, sehingga kemudian mengembangkan konsep diri yang positif. Dalam hal ini, pengaruh terbesar dipegang oleh pengasuh atau orangtua. Itulah sebabnya, penting bagi orangtua untuk menunjukkan sikap positif terhadap anak. Berikut ini ada beberapa cara yang dapat ditempuh orangtua untuk menanamkan konsep diri yang positif pada anak :

Menumbuhkan perasaan berharga pada anak

Responsif terhadap kebutuhan anak
Sejak anak masih bayi, orangtua perlu menunjukkan sikap responsif terhadap kebutuhan anak. Sebagai contoh, ketika bayi menangis, orangtua tanggap, menggendongnya, memberi susu, mengganti popok, atau membuatnya lebih nyaman. Ketika anak belajar berjalan dan terjatuh, orangtua menolong, membantunya bangun dan menghiburnya. Perhatian orangtua terhadap apa yang dibutuhkan anak menghindarkan anak dari perasaan terabaikan.

Mempedulikan perasaan anak
Orangtua perlu menunjukkan empati terhadap perasaan anak. Terima dan hargailah perasaan anak, termasuk juga perasaan negatif seperti kesedihan, kemarahan, kecemasan, ketakutan. Orangtua bisa melarang beberapa cara ekspresi perasaan yang tidak tepat yang dilakukan anak, namun tidak seyogyanya melarang anak merasakan perasaan itu sendiri. Sebagai contoh, ketika anak merasa jengkel dengan adiknya karena merasa cemburu dan membanting mainan adiknya, orangtua bisa menegur anak atas perilakunya membanting mainan itu, namun tidak menyalahkannya karena telah merasa tidak suka pada adiknya. Di saat seperti itu orangtua bisa berkata demikian, “Mama bisa memahami kamu merasa jengkel karena adikmu menyita banyak waktu mama, tapi kamu bisa bicara dengan mama kalau kamu ingin bermain bersama mama. Kamu harus ingat, mama selalu sayang kamu.” Semua orang mempunyai hak untuk merasakan emosi tertentu, begitu pula dengan anak.
Terhadap emosi yang disebabkan pemikiran anak yang tidak rasional, orangtua bisa membantu anak meluruskan pemikirannya, namun tidak menertawakannya atau memberikan komentar yang meremehkan. Sebagai contoh, ketika anak merasa khawatir akan ada monster yang keluar dari kolong tempat tidur, orangtua bisa berkata, “Monster memang tampak menakutkan, tapi monster itu hanya ada di cerita atau film saja. Monster itu hanya bohong-bohongan. Tidak pernah ada orang yang bertemu dengan monster.” Saat orangtua merasa telah melukai perasaan anak, orangtua juga bisa meminta maaf terhadap anak untuk menunjukkan bahwa orangtua mempedulikan perasaannya.

Banyak mengekspresikan kasih sayang kepada anak
Katakan kepada anak berulangkali bahwa Anda mencintainya. Berikan pelukan, ciuman, meski tidak ada momen spesial sekalipun. Tidak perlu khawatir karena ekspresi kasih sayang itu sendiri tidak akan membuat anak menjadi manja.

Meluangkan waktu bersama anak
Anak mengukur cinta dari waktu yang diluangkan orangtua untuk bersamanya. Apabila orangtua sibuk bekerja terus-menerus hingga tak punya waktu untuk anak, anak kurang merasa dicintai, merasa dirinya kurang penting bagi orangtua. Ciptakan waktu bersama anak yang berkualitas, misalnya dengan bermain bersama, membacakan buku cerita. Ketika Anda bersama anak, jangan lupa menunjukkan sikap antusias. Wajah Anda yang tersenyum lembut ketika menatap matanya, atau ceria ketika bermain bersamanya, menyampaikan informasi kepada anak bahwa ia adalah pribadi yang berharga di mata Anda.

Menunjukkan penerimaan terhadap anak
Berilah lebih banyak pujian ketimbang kritikan. Tunjukkan bahwa Anda menerima diri anak apa adanya, termasuk juga sifat-sifatnya yang berbeda dari diri Anda. Katakan dalam hal apa anak mempunyai kelebihan, kelebihan dalam hal penampilan fisik maupun sifat kepribadian. Berikan pujian ketika ia melakukan suatu perilaku yang baik.

Menghargai niat baik anak
Tunjukkan bahwa Anda menghargai usaha anak untuk melakukan suatu kebaikan, misalnya ketika ia berusaha melakukan sesuatu untuk menyenangkan hati Anda. Anda bisa tersenyum, mengucapkan terima kasih, mengatakan bahwa Anda senang, atau memujinya dengan berkata bahwa ia adalah seorang anak yang berhati baik. Seringkali rencana anak untuk memberi kejutan tidak berjalan mulus, karena kemampuannya yang terbatas atau ketidakhati-hatiannya, sehingga yang terjadi justru sebuah kecelakaan dan kegagalan, oleh karena itu, Anda perlu melihat lebih teliti niat apa yang ada di balik sebuah kejadian agar tidak salah menilai.

Mendengarkan anak
Anak-anak butuh didengarkan, mereka menginginkan perhatian dan sikap menghargai dari orang dewasa ketika mereka berbicara, baik ketika bercerita maupun menyampaikan komentar, pendapat, atau ide. Mendengarkan anak dengan sikap yang menghargai dapat dilakukan dengan cara berikut :
• Membungkukkan badan atau jongkok sehingga lebih dekat dengan anak saat mendengarkan anak berbicara
• Mengadakan kontak mata dengan anak, menatap wajahnya dengan penuh kasih
• Tersenyum atau menunjukkan ekspresi wajah yang sesuai dengan perasaan yang disampaikan anak lewat ceritanya
• Menanggapi dengan nada bicara yang ekspresif dan menunjukkan antusiasme, tidak dengan nada datar
• Tidak memotong pembicaraan anak, meski mungkin merasa tidak sependapat dengan anak, atau menganggap bahwa apa yang dibicarakan anak bukan sesuatu hal yang penting
Sangat baik apabila orangtua menyediakan waktu khusus untuk memberi kesempatan anak bercerita. Waktu makan malam, sesudah makan malam, atau sebelum tidur merupakan saat yang tepat.

Memaafkan kesalahan anak
Orangtua memang perlu menegur dan menyatakan terus-terang bahwa dirinya marah atau tidak suka ketika anak melakukan kesalahan. Akan tetapi jangan sampai orangtua membiarkan amarahnya berlarut-larut dengan mendiamkan atau mengabaikan anak hingga waktu yang lama. Segera berikan perhatian lagi ketika ia menunjukkan rasa sesal atau melakukan apa yang Anda minta. Jangan biarkan anak pergi tidur dengan berpikir bahwa Anda masih marah padanya. Ketika anak berbuat salah, beri tahu anak bagaimana semestinya berperilaku yang lebih baik atau bagaimana memperbaiki kesalahannya tersebut. Sewaktu marah, tekankan bahwa yang tidak Anda sukai adalah apa yang dilakukannya, bukan dirinya yang tidak Anda sukai.

Tidak memaki anak
Jangan memarahi anak dengan mengeluarkan kata-kata kasar atau memberikan sebutan buruk seperti “bodoh,” “nakal,” “pemalas,” “jahat,” dan lain sebagainya. Ketika menegur anak, cukup katakan perilaku buruk mana yang telah dilakukannya, tanpa menambahkan label-label negatif.

Tidak mengolok-olok anak
Jangan menggoda anak dengan mengolok-olok kelemahannya ataupun memanggil dengan julukan terkait kekurangannya, misalnya “Pesek,” “Gendut,” “Nonong,” dan sebagainya. Sekalipun hanya ditujukan untuk bergurau, sebutan-sebutan semacam itu mudah sekali terngiang dalam benak anak, dan membuat perhatian anak lebih tertuju pada kekurangan tersebut.

Tidak mempermalukan anak
Jangan menceritakan kepada orang lain tentang keburukan anak atau sesuatu hal yang tidak Anda sukai darinya. Juga jangan membanding-bandingkan ia dengan anak lain. Kedua cara ini tidak akan pernah efektif untuk mengubah perilaku anak yang buruk, anak tidak akan termotivasi untuk memperbaiki diri melainkan hanya semakin percaya bahwa dirinya buruk.

Menjaga kepercayaan anak
Jangan membohongi anak. Anda bisa mengatakan bahwa Anda tidak bersedia menjawab atau tidak ingin menceritakan sesuatu hal yang ditanyakan anak, namun jangan membohonginya. Ketika anak menceritakan suatu rahasianya kepada Anda, jaga kepercayaannya dengan tidak membocorkan rahasia tersebut.

Memberikan contoh sikap menghargai diri sendiri
Orangtua perlu memberikan contoh bagaimana menyukai diri sendiri. Apabila orangtua sering mengeluhkan kelemahan diri, berkata-kata buruk terhadap diri sendiri atau memaki diri sendiri, misalnya “Duh, bodoh, bodoh!” anak akan meniru hal yang sama. Oleh karena itu, hindari kebiasaan suka memaki diri sendiri. Memaki diri sendiri berbeda dengan mengakui kesalahan. Perbedaannya terletak pada sikap saat bicara. Saat memaki diri, orang dengan serius menyatakan rasa tidak senangnya terhadap diri sendiri, sedangkan ketika orang mengakui kesalahan/kelemahan, meskipun menyatakan bahwa dirinya salah/lemah, ia menunjukkan sikap lebih terbuka dalam menerima kesalahan/kelemahan tersebut, mungkin ia berkata sambil tersenyum atau menertawakan diri sendiri.

Lain-lain

Anda bisa juga melakukan hal-hal kecil untuk membuat anak senang dan merasa semakin dicintai, misalnya dengan cara berikut :

Memperingati hari ulang tahun atau merayakan momen spesial anak
Rayakan hari ulang tahun atau momen spesial seperti keberhasilannya memperoleh keterampilan membaca, berenang, saat kenaikan kelas, atau saat selesai tampil dalam sebuah acara pentas. Merayakan cukup dilakukan sederhana, misalnya dengan makan es krim bersama. Saat anak berulang tahun, Anda mungkin bisa membuat kejutan dengan menggantungkan tulisan “Selamat Ulang Tahun” dari kertas warna-warni di pintu kamar anak. Kue ulang tahun pun tidak harus berupa kue tart yang mahal, bisa dibuat sendiri dari donat warna-warni yang ditumpuk dan di atasnya ditancapkan lilin. Anak mengukur kasih dengan perhatian, bukan dengan kemewahan materi.

Menceritakan tentang masa kecil anak
Anak sangat suka mendengar orangtua bercerita tentang masa kecilnya. Ceritakan hal-hal lucu dan menggemaskan yang telah dilakukannya semasa ia kecil.


Menumbuhkan perasaan mampu pada anak

Menghargai prestasi dan hasil karya anak
Saat anak menyanyikan lagu, menari, atau menampilkan sebuah kemampuan, berikan perhatian, senyuman, bila perlu tepuk tangan. Ketika anak membuat sebuah kartu spesial untuk Anda, atau sebuah lukisan, terimalah dengan antusias dan katakan bahwa itu membuat Anda bahagia. Anda bisa juga memajang hasil karyanya di meja atau dinding ruangan Anda.

Memberikan dukungan
Berikan kata-kata penyemangat yang mengkomunikasikan bahwa Anda percaya dia mampu. Ketika anak gagal, hindari mencemooh dan menunjuk-nunjuk kesalahannya, cukup Anda mendampingi anak merasakan kesedihannya. Apabila ia mengalami kegagalan sesudah berjuang cukup keras, katakan bahwa ia harus merasa bangga juga atas keberaniannya mencoba dan bangga karena telah berusaha sebaik-baiknya, bukan hanya melihat hasil akhirnya saja.

Memasang target dan harapan yang sesuai
Hindari memasang target terlalu tinggi, sebab anak akan merasa frustrasi ketika gagal mencapainya. Akan tetapi, hindari juga target yang terlalu rendah, sebab anak akan merasa tidak dipercaya dan merasa dirinya dipandang lemah. Target yang tepat adalah sedikit lebih tinggi di atas kemampuan anak saat ini. Cara merancang target yang realistis seperti ini juga perlu diajarkan kepada anak, agar anak bisa dengan mandiri menentukan tujuan yang hendak diraihnya tanpa menuntut diri sendiri secara berlebihan.

Menghargai pemikiran anak
Berikan kesempatan kepada anak untuk berpendapat, dan hargai sudut pandangnya. Izinkan ia mengambil keputusan atas hal-hal pribadinya yang mampu dia tangani sendiri.

Menghargai usaha anak
Hindari memfokuskan pandangan hanya pada hasil yang dicapai anak. Berikan pujian tidak hanya ketika anak berhasil, namun juga ketika anak berani mencoba sesuatu atau melakukan sebuah usaha dengan tekun dan gigih. Ketika anak meraih sebuah keberhasilan, jangan lupa ajak anak untuk melihat ke belakang dan menyadari bahwa keberhasilan tersebut adalah buah dari usaha kerasnya.

Memberikan kesempatan untuk berusaha sendiri
Bantuan yang berlebihan dari orangtua justru berdampak buruk bagi anak. Apabila orangtua selalu mengulurkan tangan begitu anak mulai mencoba, anak tidak mempunyai kesempatan untuk merasa sukses atas usahanya sendiri. Pengalaman sukses sangat diperlukan untuk memupuk perasaan mampu.

Memberi tanggung jawab sesuai dengan usianya
Biarkan anak melakukan pekerjaan/tugas yang mampu dilakukannya sendiri tanpa membantunya. Anda bisa juga memberikan tugas-tugas yang sesuai dengan kemampuannya. Percayakan beberapa urusan rumah tangga yang ringan, misalnya mengupas wortel dengan peeler, menata meja makan, menyirami tanaman, atau membuang sampah. Sekalipun nampaknya sederhana, hal-hal ini menguatkan perasaan mampu pada diri anak dan membuatnya merasa berguna sebagai seorang pribadi.

Mengizinkan anak membantu kita
Sedapat mungkin, berikan kesempatan kepada anak untuk membantu kita. Mungkin hasilnya memang tidak persis seperti yang kita harapkan, namun berusahalah untuk bersikaplah cukup fleksibel, dalam arti tidak menuntut hasil sempurna. Ingatlah bahwa lebih penting menumbuhkan perasaan mampu pada anak daripada memperoleh hasil yang memuaskan.

Mengajarkan kebiasaan untuk menghargai kesuksesan diri
Setiap malam sebelum tidur, Anda bisa mengajak anak mengingat pengalaman keberhasilannya hari itu. Tak perlu keberhasilan yang hebat atau luar biasa, sekedar kesuksesan kecil saja layak dihargai, misalnya saja anak membuat ibu guru senang karena merapikan meja guru, atau anak melucu sehingga temannya yang tadinya bersedih jadi tertawa, atau mengobati adik yang terluka. Ketika anak menceritakannya, tunjukkan bahwa Anda turut menghargai keberhasilannya itu. Ajari anak juga untuk merasa bangga sekedar atas keberaniannya berusaha, sekalipun mungkin hasil yang diraih kurang memuaskan. Tekankan bahwa sukses adalah ketika kita melakukan yang terbaik yang mampu kita lakukan.

Mengajarkan sikap yang benar dalam memandang ketidakmampuan diri
Pastikan bahwa anak memahami bahwa semua orang punya keterbatasan karena tidak ada manusia yang sempurna, akan tetapi sadarkan anak juga bahwa tidak semua ketidakmampuan bersifat abadi. Dengan usaha, kita bisa meningkatkan kemampuan. Bila anak memahami konsep ini, ia akan menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah, namun juga mampu menerima dengan lapang kegagalan dan kelemahan diri.
Sering juga terjadi, anak memandang dirinya bodoh hanya karena satu kelemahan saja, atau bahkan hanya gara-gara sebuah kegagalan saja. Oleh karena itu, orangtua perlu memperhatikan apakah anak menggeneralisasikan kegagalannya itu menjadi sebuah pandangan negatif terhadap diri sendiri. Sebagai contoh, anak merasa dirinya bodoh hanya karena ia lemah dalam pelajaran Matematika. Bila orangtua menemukan kesalahan persepsi anak seperti ini, ajari anak untuk membetulkan persepsinya. Ajak anak untuk melihat bahwa kelemahan atau kegagalannya tersebut hanya berlaku untuk satu bidang atau hanya bersifat situasional.

Mengajarkan berbicara kepada diri sendiri secara positif (positive self-talk)
Ajari anak untuk mempunyai kebiasaan memberi semangat kepada diri sendiri. Misalnya dengan berkata dalam hati, “Aku pasti bisa kalau berusaha keras,” “Aku harus mencoba,” atau “Kalau aku berusaha sedikit lagi, pasti aku bisa”. Sebaliknya, ajarkan untuk tidak berkata-kata buruk kepada diri sendiri, seperti, “Aku tidak pernah bisa melakukan sesuatu dengan beres,” “Percuma, aku pasti gagal,” dan semacamnya. Katakan kepada anak bahwa saat melakukan kesalahan, lebih baik berkata, “Namanya juga manusia,” daripada memaki diri sendiri, “Dasar, memang aku ini bodoh.”

Melibatkan anak dalam berbagai aktivitas
Izinkan anak untuk aktif dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan sosial maupun kegiatan mengasah keterampilan diri. Melalui kegiatan-kegiatan yang bervariasi, anak memiliki kesempatan lebih banyak untuk menemukan kemampuan dirinya. Hanya saja, kegiatan-kegiatan tersebut perlu dibatasi jumlahnya dan diatur sedemikian rupa agar anak mempunyai waktu yang cukup untuk beristirahat dan masih bisa menikmati waktu bebasnya secara pribadi.


Dasar-dasar perasaan mampu terbangun sebelum anak berusia 5 tahun. Oleh karena itu, pada 5 tahun awal kehidupannya, sangat penting bagi orangtua untuk menerapkan prinsip-prinsip pengasuhan yang mendukung perasaan mampu anak. Usaha orangtua untuk menanamkan konsep diri positif pada diri anak akan menjadi bekal yang sangat berharga bagi anak di masa depan, tidak hanya untuk menjadikan ia sebagai pribadi yang percaya diri, melainkan juga menjadi kunci masuk ke sebuah kehidupan yang bahagia.


Sumber inspirasi :
Ireland, K., 2003. 150 Cara untuk Membantu Anak Meraih Sukses (Alih bahasa : Grace Satyadi). Jakarta : Erlangga.
Krulik, N., 2000. Raise Your Child’s Self-Esteem, 99 Easy Things to Do. New York : Scholastic.

Baca lebih lanjut...

Sabtu, 11 Juni 2011

KURANG PERCAYA DIRI


Masalah kepercayaan diri adalah masalah yang paling sering mengganggu pada masa remaja. Remaja yang mempunyai masalah kepercayaan diri mudah merasa tidak puas dengan keadaan diri mereka, sadar diri berlebihan dan terlalu peka terhadap komentar orang lain. Sekalipun masalah kepercayaan diri ini merupakan masalah yang wajar dialami saat melalui masa remaja, ada baiknya jika orangtua melakukan upaya-upaya kecil untuk membantu anak segera mendapatkan kembali kepercayaan dirinya. Berikut ini akan dibahas bagaimana orangtua dapat menolong anak membangun rasa senang dan puas terhadap dirinya sendiri.

Faktor penyebab

Pada masa remaja, anak mengalami perkembangan fisik yang pesat. Perkembangan fisik ini membuat remaja sering merisaukan bagaimana perubahan yang mereka alami tersebut berpengaruh pada penampilan. Di samping itu, pada masa remaja, kebutuhan untuk menjalin relasi sosial dan relasi dengan lawan jenis meningkat, sehingga akibatnya, mereka pun semakin memikirkan bagaimana orang lain melihat diri mereka. Adanya ketidakpuasan terhadap perkembangan tubuh yang dialami dan penampilan fisik ini berujung pada masalah kurang percaya diri.
Kurang bagusnya konsep diri yang terbentuk pada masa kecil, juga menjadi faktor remaja kurang percaya diri. Bila pada masa kanak-kanak anak merasa kurang menerima ekspresi kasih sayang dari orang-orang dekat (jarang dipeluk, dicium, diajak bicara), jarang mendapat pujian melainkan lebih sering dikritik, dibanding-bandingkan, dicela, atau bahkan menerima perlakuan kasar, kurang diberi kesempatan untuk mandiri, banyak mengalami kegagalan dalam hal akademik dan sosial (masalah dalam pergaulan), mereka mengembangkan konsep diri yang buruk, sehingga ketika masa remaja mereka mengalami masalah kepercayaan diri.

Tanda-tanda
Ketidakpercayaan diri atau konsep diri yang buruk pada remaja bisa dilihat dari perilaku menarik diri, enggan terlibat dalam kegiatan sosial atau aktivitas bersama teman-teman sebaya, gerak-gerik yang canggung ketika berhadapan dengan orang lain, ketidakberanian tampil, pesimis dan kurang motivasi dalam melakukan suatu usaha, maupun sifat mudah tersinggung dan marah. Sulit mengambil keputusan sekedar untuk hal-hal kecil dan terlalu peduli pada komentar orang lain juga merupakan tanda remaja kurang memiliki kepercayaan diri.

Langkah untuk Mengatasi
Ketika orangtua melihat tanda-tanda anak kurang percaya diri, orangtua perlu mengecek bagaimana persepsi anak terhadap daya tariknya sebagai pribadi (termasuk persepsi terhadap penampilan fisik, kemampuan bergaul, dan sebagainya), serta standard mana yang digunakan anak sebagai acuan untuk menilai dirinya. Sebagai orangtua yang sedang berupaya meningkatkan kepercayaan diri anak, tujuan Anda adalah menolong anak mengembangkan gambaran positif terhadap dirinya. Seorang remaja yang mempunyai gambaran positif terhadap dirinya akan mempunyai perasaan senang terhadap kondisi fisik dan non-fisiknya. Merasa senang terhadap kondisi fisik berarti cukup puas dengan tubuh atau penampilan fisiknya, menghargai kelebihan yang ada pada tubuhnya, namun juga menerima ketidaksempurnaan tubuh yang dimilikinya. Sedangkan merasa senang pada kondisi non-fisik berarti cukup puas dengan sifat-sifat kepribadian dan kemampuan/ kecakapan yang dimiliki.

Menolong anak merasa puas dengan kondisi fisiknya

Memberikan pemahaman bahwa orang tumbuh dan berkembang tidak dengan kecepatan yang sama
Remaja yang mencapai kematangan fisik awal, atau sebaliknya, terlambat dibandingkan teman-temannya, rentan terganggu kepercayaan dirinya, karena mereka mendapati diri mereka berbeda dari teman-temannya. Jika hal ini terjadi, penting bagi orangtua untuk menjelaskan kepada anak bahwa kecepatan pertumbuhan dan perkembangan berbeda-beda untuk tiap orang.

Memberikan pemahaman bahwa semua orang mempunyai perasaan tidak puas terhadap penampilan fisik tubuhnya
Orang yang terlihat paling sempurna sekalipun ternyata juga mempunyai ketidakpuasan terhadap tubuhnya. Keinginan untuk menjadi lebih kurus, lebih tinggi, lebih mancung hidungnya, lebih putih kulitnya, atau memiliki rambut lurus, adalah contoh-contoh ketidakpuasan orang terhadap tubuhnya, dan hal ini sangat biasa. Setiap orang mempunyai perasaan kurang puas terhadap tubuhnya, merasa ada kekurangan pada bagian tubuh tertentu. Anehnya, seringkali kekurangan yang dirisaukan tersebut justru tidak disadari oleh orang lain. Dengan kata lain, ketidakpuasan lebih bersumber pada persepsi subjektif.

Mengajak anak membedakan antara apa yang dapat diubah dan apa yang tak dapat diubah
Beberapa kondisi fisik bisa diubah, namun beberapa lainnya tidak bisa. Ajak anak untuk menyadari apa saja kondisi fisik yang membuat dirinya kurang puas, lalu membedakan mana yang bisa diubah dan mana yang tidak. Terhadap kondisi yang bisa diubah, ajak ia untuk memikirkan bagaimana melakukan upaya konkrit untuk mengubahnya. Sedangkan terhadap kondisi yang tidak bisa diubah, katakan bahwa ia mempunyai dua pilihan, terus membencinya, atau mencoba untuk hidup berdamai dengannya (menerimanya dan menjadi bahagia dengannya).

Memberikan pemahaman bahwa apa yang ditampilkan dalam iklan, foto, adalah bukan sesungguhnya
Kesempurnaan fisik artis-artis atau model yang terlihat dalam iklan televisi, fim, sinetron, atau foto-foto dalam majalah, merupakan hasil make-up, edit komputer, atau bahkan operasi plastik.

Mengajak anak mengenali kelebihan fisiknya
Kelebihan fisik bisa berupa penampilan fisik yang menarik, yaitu wajah yang good-looking, bentuk tubuh yang indah, bisa juga berupa kecakapan fisik, seperti kekuatan, koordinasi tubuh yang baik, kelincahan. Remaja putra umumnya sangat kecewa ketika mendapati dirinya tidak pandai di bidang olahraga, khususnya olahraga tim yang populer, seperti basket, sepak bola. Bila hal ini terjadi, orangtua dapat menyarankan anak untuk mencoba aktivitas fisik lain seperti olahraga individual (renang, lari, hiking), bulutangkis, tenis, bela diri, atau menari. Saat anak menyadari kelebihan fisik yang dimiliki, lebih mudah bagi anak untuk mengembangkan kepercayaan diri.

Mendorong anak mengembangkan kebiasaan baik untuk menjaga kebugaran tubuh
Dorong anak untuk menjaga pola makan yang baik dan olahraga yang teratur. Menjaga berat tubuh ideal adalah salah satu cara menjaga kepercayaan diri. Selain itu, dorong anak juga untuk memelihara kebersihan diri, mandi teratur, cuci muka dengan sabun wajah, merawat gigi, rambut, kulit, menggunakan deodorant, dan mengenakan pakaian yang bersih.

Mengajak anak memperbaiki penampilannya
Ajaklah anak untuk mengubah sedikit penampilannya agar merasa lebih baik. Pikirkan bersama bagaimana gaya rambut yang lebih cool untuknya, baju seperti apa yang lebih funky, atau kacamata mana yang lebih keren dipakainya. Sekali waktu, Anda bisa mengantarnya membeli baju di mall, ke salon untuk make-up dan menata gaya rambut, kemudian mengambil fotonya di studio foto. Tunjukkan bahwa ia bisa tampil lebih cantik/tampan dan lebih bergaya.
Mengajak anak melihat foto, menunjuk satu foto di mana di dalamnya anak tersenyum dengan bahagia, lalu berkata, “Eh lihat! Mama suka fotomu yang ini. Kamu tampak manis, lho.”

Menolong anak merasa puas dengan kondisi nonfisiknya

Memberikan pemahaman bahwa pembawaan yang menarik lebih penting daripada wajah yang good looking
Orang yang mempunyai pembawaan menarik lebih disukai orang daripada orang yang punya wajah yang good looking (cantik/tampan). Banyak orang yang mempunyai wajah cantik/tampan tampak tidak menarik. Sebaliknya, banyak orang yang tidak begitu cantik/tampan namun bisa tampil begitu menarik. Menarik memang bukan merupakan sesuatu yang semata-mata bersifat fisik. Menarik adalah soal kepribadian yang terpancar. Daya tarik seseorang muncul dari kepribadiannya. Seorang yang ceria, optimis, dan tampil percaya diri, bisa tampak sangat menarik, sekalipun tidak memiliki wajah yang cantik/tampan. Kunci agar bisa tampil menarik adalah merasa nyaman dengan diri sendiri dan berani menjadi diri sendiri yang unik. Anda bisa menunjuk artis-artis yang memiliki wajah biasa-biasa saja namun populer karena mereka memang menarik, misalnya saja Indy Barrends, Sarah Sechan, Irfan Hakim, dan masih banyak lagi.

Mengingatkan bahwa apa yang di dalam sama pentingnya dengan apa yang nampak dari luar
Ingatkan anak bahwa inner beauty sama pentingnya dengan penampilan luar. Kepandaian, pengetahuan, keterampilan, cara berpikir, sikap, cara bertingkah laku, tidak kalah penting dengan penampilan fisik. Inner beauty sungguh-sungguh bisa menjadi daya tarik seseorang. Jadi, mengapa harus selalu mengurus penampilan luar saja? Ajari anak untuk menjadi orang yang menarik dengan menjaga keunikan dirinya.

Mengajak anak menyadari kelebihan nonfisiknya
Kelebihan nonfisik bisa berupa kepandaian akademik, kecakapan atau keterampilan di bidang-bidang tertentu (seni lukis, seni musik, seni sastra, dan sebagainya), dan sifat positif dari kepribadian.

Mendorong anak menemukan nilai-nilai pribadi
Membantu anak mengenali nilai-nilai yang dihargai atau dijunjungnya akan bermanfaat bagi pengembangan jati diri anak. Ajak anak untuk menyadari apa saja sebenarnya nilai-nilai yang disukai dan dihargainya, apakah itu nilai kejujuran, nilai toleransi, nilai kasih pada sesama, nilai ketekunan, nilai tanggung jawab, dan sebagainya. Mungkin Anda bisa berkata kepadanya, “Kamu tidak mau berbohong pada orang lain. Tampaknya nilai kejujuran adalah nilai yang kamu junjung.”

Mengajarkan anak menghargai keberhasilannya
Ajari anak untuk lebih memusatkan perhatian pada kesuksesan daripada memusatkan perhatian pada kegagalannya. Katakan kepadanya bahwa sangat perlu menghargai keberhasilan-keberhasilan kecil yang dicapai atau kebaikan yang telah dilakukan setiap hari. Memuji diri sendiri harus lebih sering dilakukan ketimbang mencela diri sendiri. Mengingat prestasi-prestasi kecil membuat kita merasa lebih gembira.

Mendorong anak mengikuti kegiatan pengembangan keterampilan dan bakat
Tawari anak untuk ikut les, kursus, atau klub yang bisa mengasah keterampilan. Misalnya kursus musik, kursus bahasa asing, kursus membuat kue, kursus mengemudi, klub fotografi, klub bulutangkis, klub bela diri, band, dan lain sebagainya. Mengikuti kegiatan semacam ini membuat anak menyadari bakat yang dimilikinya, dan menolongnya memupuk rasa bangga pada dirinya.

Mendorong anak terlibat aktif dalam kegiatan organisasi
Kegiatan organisasi yang beranggotakan teman-teman sebaya, baik untuk memupuk kepercayaan diri anak. Dengan terlibat dalam organisasi, anak juga berkesempatan untuk mempelajari banyak keterampilan sosial, seperti bagaimana menyampaikan pendapat dan menghargai pendapat orang lain, berempati, mengatasi konflik dengan orang lain, dan sebagainya.

Mendorong anak terlibat dalam kegiatan religius
Kedamaian yang diperoleh dari relasi dengan Tuhan, ternyata mampu membuat seseorang lebih terbuka dalam menerima dirinya sendiri. Pengalaman pribadi dalam merasakan kasih Tuhan, membuat seseorang lebih merasa berharga. Oleh karena itu, orangtua dapat mendorong anak untuk aktif dalam mengikuti ibadah maupun kegiatan-kegiatan religius. Akan semakin baik bila kegiatan religius yang diikuti adalah kegiatan yang dihadiri oleh teman-teman yang sebaya dengan usia anak, sebab selain bisa memperdalam iman, juga memungkinkan anak menemukan sahabat yang bisa saling memotivasi dan meneguhkan.

Kebanyakan orang berpikir bahwa yang merisaukan soal penampilan hanyalah anak perempuan saja, mereka menyangka anak laki-laki tidak memikirkan penampilan fisik. Pada kenyataannya, remaja putra juga mempedulikan penampilan fisik mereka, sama seperti halnya remaja putri. Hanya saja perbedaannya, remaja putra lebih tertutup dan enggan membicarakan tentang ketidakpuasan mereka terhadap penampilan fisik mereka. Mereka lebih suka memendam pikiran dan kekhawatirannya daripada menceritakannya kepada orangtua atau teman mereka. Oleh karena itu, orangtua yang mempunyai remaja putra pun tetap perlu memastikan bahwa putranya sedang mengembangkan sebuah gambaran positif tentang diri dan tubuhnya.


(Last reviewed : Mei 2014)
Baca lebih lanjut...

Minggu, 29 Mei 2011

Tips agar Anak Patuh terhadap Orangtua


Orangtua tentu menginginkan anak bersikap kooperatif tatkala orangtua memberikan peraturan, perintah, atau larangan kepadanya. Anak yang bersikap kooperatif bersedia untuk menerima peraturan dan batasan yang diberikan orangtua. Ia patuh karena peduli pada apa yang dikehendaki atau diinginkan orangtua, bukan karena terpaksa atau karena merasa takut pada ancaman atau amarah orangtua. Berikut ini akan dibahas apa saja yang bisa dilakukan orangtua agar anak patuh dan menunjukkan sikap kooperatif kepada orangtua.

Memberikan contoh kepatuhan
Orangtua perlu menunjukkan contoh kepatuhan terhadap otoritas, misalnya saja kepatuhan terhadap peraturan lalu lintas, peraturan di lingkungan tempat tinggal setempat, peraturan di supermarket, hotel, rumah makan yang dikunjungi, dan sebagainya. Contoh yang diberikan orangtua ini memberikan pesan kepada anak, bahwa saat kita berada di bawah suatu otoritas, kita harus tunduk kepada otoritas tersebut, dan bahwa ‘selalu ada yang berwenang di atas kita’ adalah sebuah kenyataan yang harus diterima dalam hidup di dunia ini.

Memberikan peraturan seperlunya
Sebelum memberikan peraturan kepada anak, tanyakan kepada diri sendiri, seberapa penting aturan itu. Hindari memberikan banyak larangan yang sebenarnya tidak terlalu penting. Utamakan membuat peraturan untuk hal-hal yang terkait dengan keselamatan anak dan kesejahteraan orang lain. Peraturan yang penting misalnya, tidak boleh menyakiti orang lain, tidak boleh merusak barang milik orang lain atau milik bersama, tidak boleh bermain benda-benda berbahaya. Terlalu sering orangtua melarang anak melakukan sesuatu hanya karena alasan orangtua tidak ingin dibuat repot oleh anak.

Menjaga secara konsisten standard perilaku dan batasan yang pernah diberikan
Ketika orangtua telah membuat peraturan, orangtua harus menjaga agar peraturan tersebut ditaati. Artinya, jika orangtua mendapati anak melanggarnya, anak harus ditegur, atau diberi konsekuensi (hukuman). Hukuman cukup berupa time out, atau mengurangi akses anak kepada sesuatu yang disukainya seperti tidak boleh bersepeda selama satu hari, tidak boleh menonton satu episode film kartun favorit, tidak mendapat snack sesudah makan malam, dan sebagainya.

Menghindari bertindak diktator
Hindari cara mengasuh yang terlalu otoriter. Jika meminta tolong bisa dilakukan, tidak perlu main perintah. Jangan membiasakan berbicara dengan membentak, maupun menggunakan kekuatan fisik untuk memaksa anak. Ketika memberikan peraturan, jelaskan alasan di balik peraturan tersebut. Sedapat mungkin, jika memberikan perintah, tawarkan pilihan kepada anak. Sebagai contoh, ketika Anda hendak memerintah anak untuk segera menyelesaikan mandinya, Anda bisa menawarkan pilihan untuk segera keluar dari kamar mandi dan jalan-jalan ke taman bersama Anda, atau tetap bermain air di kamar mandi namun tidak jalan-jalan bersama Anda.

Bersedia mendengarkan anak
Bila memungkinkan, sebuah peraturan bisa dibuat berdasarkan kesepakatan bersama anak. Dengarkan apa yang diusulkan oleh anak, sekalipun Anda tidak harus menyetujuinya. Ketika anak mengatakan perasaan tidak senangnya atas peraturan atau perintah Anda, tidak perlu Anda marah. Anda bisa menjelaskan kembali alasan Anda memberikan peraturan atau perintah tersebut, namun tidak perlu melarangnya merasa tidak senang. Soal perasaan, merasa tidak suka akan sesuatu hal adalah hak pribadi anak, yang terpenting adalah anak melaksanakan peraturan atau perintah.

Memastikan anak memahami apa yang diharapkan
Perintah dan larangan yang diberikan harus jelas, spesifik, dan konkrit untuk dilakukan. Sebagai contoh, ketika Anda ingin dia membereskan kamar tidurnya, berikan perintah untuk mengambili semua mainan dan menempatkannya lagi di kotaknya masing-masing, mengeluarkan baju kotornya dari kamar dan memasukkannya di ember baju kotor, merapikan spreinya dan menata bantal-guling di tempatnya.

Menunjukkan sikap optimis
Ketika Anda memberikan perintah atau larangan, tunjukkan bahwa Anda percaya anak akan mematuhinya, lewat nada bicara yang tenang dan tegas, lewat tatapan mata Anda yang penuh keyakinan, lewat ekspresi wajah Anda, atau gerak-gerik Anda yang tenang dan penuh percaya diri. Hindari kata-kata kasar, bentakan, apalagi ancaman. Selain itu, sebisa mungkin jangan gunakan kata “Jangan”, melainkan berikan perintah dengan kalimat positif. Yakinkan diri Anda sendiri bahwa anak Anda adalah anak yang baik, yang ingin menyenangkan hati Anda. Jangan biarkan anak tahu bahwa Anda meragukan kepatuhannya, karena hal ini justru akan memancingnya untuk bersikap tidak patuh.

Menghargai sikap kooperatif/patuh anak
Setiap kali Anda mendapati anak melakukan perintah atau mematuhi peraturan, tunjukkan kepadanya bahwa Anda menghargai sikap taatnya tersebut. Ucapkan terima kasih, berikan senyuman, pelukan, tepukan lembut di bahu, atau komentar memuji. Anda bisa mengatakan juga kepadanya bahwa apa yang dilakukannya membuat Anda senang.

Menjalin relasi dekat dengan anak
Semakin anak menyukai atau menyayangi kita, semakin ia bersedia bekerjasama dengan kita, karena ia ingin menyenangkan hati kita. Berikan waktu dan perhatian yang dibutuhkan anak, juga sering-seringlah mengekspresikan rasa sayang kepadanya. Bersikaplah responsif terhadap kebutuhan anak, dan tunjukkan empati terhadap apa yang dirasakannya. Ini semua akan membuat anak menikmati kebersamaannya dengan orangtua, dan menciptakan relasi yang dekat antara anak-orangtua.

Bersikap fleksibel
Sekalipun bersikap konsisten dalam menjaga peraturan adalah penting, tidak berarti orangtua harus selalu menerapkan harga mati untuk sebuah peraturan yang telah dikeluarkan. Izinkan anak untuk ‘menang’ sekali waktu, menawar peraturan Anda sedikit saja ketika ada suatu alasan yang bisa dimaklumi.


Sekalipun orangtua menginginkan sikap patuh anak, orangtua perlu memahami juga bahwa ketidakpatuhan anak dalam batas wajar adalah sesuatu hal yang normal. Jangan semata-mata melihat ketidakpatuhan anak sebagai tanda bahwa anak tidak mencintai atau menghargai diri Anda. Anak merupakan seorang pribadi yang seiring bertambahnya usia, menjadi semakin ingin mandiri. Sebagai orangtua, Anda berkewajiban membimbingnya, namun jangan lupa untuk perlahan-lahan melepaskan kendali Anda, memberinya kebebasan semakin banyak saat ia menjadi dewasa dan telah mampu bertanggung jawab.

Stanley I. Greenspan mengatakan, bahwa untuk membentuk sikap kooperatif (patuh) anak, kuncinya adalah menjaga keseimbangan antara KASIH - OTONOMI - BATASAN dalam pengasuhan. 
 
"Often when one or more of these three factors of nurturance, autonomy, and limit-setting are absent, power struggles result." (Stanley I. Greenspan; First Feelings; p. 157-162).
 
Last reviewed : Agustus 2015

 
Sumber inspirasi :
Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981. How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company.
Baca lebih lanjut...

Selasa, 24 Mei 2011

Pendidikan Seksualitas di Rumah


Memberikan pendidikan seks di rumah adalah jalan untuk mencegah anak tersesat, memperoleh info yang tidak akurat dan menangkap pesan yang salah mengenai hal-hal seksualitas. Akan tetapi, seringkali orangtua bingung bagaimana memberikan pendidikan seksualitas kepada anak, kapan memulai pembicaraan, dan apa saja yang perlu dibahas. Mengajarkan seksualitas kepada anak sesungguhnya tidak sesulit dan serumit yang dibayangkan orangtua. Di bawah ini akan disajikan bagaimana orangtua dapat mengambil langkah untuk memberikan pendidikan seksualitas kepada anak.

Persiapan
Pertama-tama, yang perlu dilakukan adalah memahami apa saja isi pendidikan seksualitas yang dibutuhkan. Topik seksualitas tidak terbatas pada arti hubungan seksual saja. Pendidikan seksualitas yang komprehensif, selain meliputi penjelasan mengenai fungsi organ reproduksi, perkembangan organ reproduksi saat pubertas, hubungan seksual dan penyakit menular seksual, juga mencakup pengajaran tentang identitas dan peran sebagai pria/wanita, cara pandang terhadap tubuh, serta ekspresi kasih sayang dan keintiman hubungan.
Selanjutnya, orangtua perlu menyadari nilai-nilai apa saja berkaitan dengan seksualitas yang ingin ditanamkan pada diri anak. Misalnya saja mungkin orangtua ingin agar anak mencintai identitas dan perannya sebagai pria/wanita, tidak berhubungan seks sebelum menikah, atau agar anak memiliki kepercayaan diri dan kemandirian yang cukup untuk tidak bergantung pada sosok pacar. Dengan menyadari nilai-nilai ini, orangtua bisa membuat pendidikan seksualitas yang diajarkan lebih terarah.
Bicara seputar seksualitas sering menimbulkan rasa tidak nyaman, padahal, jika orangtua belum nyaman untuk bicara tentang seksualitas, anak akan menangkap rasa tidak nyaman tersebut, dan akibatnya, tidak akan bisa berkonsentrasi dengan baik untuk mendengarkan apa yang dibicarakan. Oleh karena itu, jika dirasa perlu, orangtua bisa terlebih dahulu berlatih, bisa dengan cara berbicara sendiri, atau pura-pura menjelaskan kepada suami/istri atau teman. Cobalah menyebut organ seksual seolah-olah seperti ketika menyebut organ tubuh lain, mata atau telinga.

Membicarakan topik seksualitas sesuai usia anak
Pendidikan seksualitas idealnya tidak hanya diberikan ketika anak menginjak masa remaja. Ketika anak masih kecil, orangtua bisa memulainya dengan mengajarkan nama bagian-bagian tubuh, termasuk alat kelamin. Katakan bahwa ada bagian tubuh yang boleh dilihat, disentuh orang lain, tapi ada juga bagian tubuh yang perlu dijaga privasinya. Ajak anak untuk merawat tubuhnya dengan baik, mencintai tubuhnya, tanpa menganggap alat kelamin sebagai organ tubuh yang kotor atau memalukan. Ajarkan juga perilaku yang tepat, yang sesuai dengan perannya sebagai pria atau wanita, misalnya cara berpakaian, cara berkomunikasi dengan orang lain.
Ketika anak hendak memasuki masa remaja, orangtua perlu menjelaskan perubahan fisik yang akan terjadi dan dialami pada masa pubertas. Hal ini penting dilakukan agar anak tidak cemas saat mengalami perubahan-perubahan tersebut, dan bisa secepat mungkin menyesuaikan diri dan menjadi nyaman dengan dirinya. Ajari anak untuk merawat dan menjaga kebersihan dirinya, termasuk bagaimana menangani menstruasi atau mimpi basah dengan baik saat mengalaminya. Orangtua juga tak boleh lupa menyampaikan bahwa pada masa remaja, mulai timbul gairah seksual, yang meskipun terkadang dirasa begitu kuat, tetap bisa dikendalikan. Ajarkan berbagai cara untuk menyalurkan energi berlebihan tersebut, misalnya dengan olahraga atau aktivitas lain yang menjadi hobi.

Topik pembicaraan saat anak berusia balita :
+ Pengenalan bagian-bagian tubuh, termasuk nama yang benar dari alat kelamin
+ Pemahaman tentang privasi, bagaimana menjaga privasi diri dan menghormati privasi orang lain
+ Pemahaman tentang sentuhan fisik sebagai komunikasi, sentuhan yang tepat dan sentuhan yang tidak tepat
+ Asal bayi
Pada usia 3 tahun, ketika anak bertanya tentang asal adik bayi, orangtua bisa berkata bahwa adik bayi tumbuh dari sebuah telur yang ada dalam perut ibu, lalu keluar melalui jalan khusus, yaitu vagina. Sedangkan untuk anak usia 6 tahun ke atas, orangtua bisa menjelaskan bahwa ketika pria dan wanita saling mencintai, mereka ingin dekat satu sama lain, kemudian sel sperma yang dimiliki pria bersatu dengan sel telur yang ada dalam perut wanita, dan jadilah calon bayi yang tumbuh dalam perut wanita.





Topik pembicaraan saat anak menjelang masa pubertas :
+ Perubahan fisik anak perempuan (tinggi, bentuk tubuh, tumbuhnya payudara, rambut)
+ Perubahan fisik anak laki-laki (tinggi, bentuk tubuh, otot, pertumbuhan penis dan testis, tumbuhnya rambut)
+ Perubahan suara anak laki-laki
+ Menstruasi pada anak perempuan
+ Mimpi basah pada anak laki-laki
+ Hubungan seksual, pembuahan, dan kehamilan
+ Munculnya gairah seksual pada anak laki-laki maupun perempuan
+ Masalah jerawat dan keringat berlebih
+ Ketidakstabilan emosi atau perubahan emosi yang menyertai masa puber

+ Menjalin relasi dengan lawan jenis, pacaran, kencan, perilaku seksual (apa yang mungkin terjadi saat kencan), berbicara asertif terhadap pacar

Tips menanamkan nilai
Usaha orangtua untuk memberikan pendidikan seksualitas kepada anak umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi orangtua untuk menanamkan nilai-nilai seksualitas. Orangtua mempunyai harapan besar agar anak tidak sampai salah langkah dalam kehidupan seksualitasnya, sehingga anak mempunyai kehidupan seksualitas yang bahagia. Ini merupakan suatu hal yang sangat baik, hanya saja sayangnya, motivasi dan harapan orangtua tersebut seringkali membuat pendidikan seksualitas yang diberikan terlalu fokus pada usaha untuk menasihati anak agar bertingkah laku tertentu. Anak pun jadi merasa bosan dan tidak suka diajak bicara orangtua, dan akhirnya, penanaman nilai justru menjadi tidak efektif.
Dalam menanamkan nilai, orangtua perlu menjaga keseimbangan antara pengajaran nilai dan pengakuan akan aspek positif dari seksualitas. Hindari mengarahkan pembicaraan semata-mata hanya untuk menyampaikan pesan-pesan saja tanpa mengakui bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bagian kehidupan yang indah dan bisa dinikmati. Kebanyakan orangtua khawatir bahwa mengakui aspek positif dari seksualitas akan membuat anak lebih termotivasi untuk berhubungan seks, padahal sesungguhnya, dengan mengakui aspek positif dari seksualitas, orangtua justru membuat pintu hati anak terbuka lebih lebar untuk menerima nilai-nilai yang akan diajarkan. Sikap jujur orangtua akan menciptakan kesan di mata anak bahwa orangtua merupakan figur yang menarik untuk diajak bicara seputar seksualitas.
Anak perlu memahami hakikat seks sebagai perwujudan relasi yang begitu intim dengan seseorang. Seks tidak ada artinya jika dilakukan tanpa sebuah relasi intim, mengingat setiap manusia punya kebutuhan yang lebih mendasar daripada sekedar kebutuhan fisik, yaitu kebutuhan akan relasi intim dengan seseorang.
Usaha untuk menghindarkan anak dari hubungan seksual pra nikah bisa dilakukan dengan mengajarkan bahwa orang bisa menikmati rasa bahagia yang timbul dari sebuah kedekatan tanpa harus berhubungan seks. Hubungan seks juga bukan satu-satunya cara mengekspresikan kasih sayang dan keintiman. Pada seks yang membahagiakan, juga melekat tanggung jawab, selain tanggung jawab untuk menghadapi segala konsekuensi yang timbul akibat hubungan seks tersebut, juga tanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan pasangan dan menjaga relasi dengan pasangan.

Berbagai kesempatan bisa digunakan orangtua untuk membicarakan seksualitas sembari menanamkan nilai-nilai. Saat anak bertanya, saat berjalan-jalan di mal, atau saat melihat iklan televisi, semuanya bisa digunakan sebagai jalan untuk membuka pembicaraan, apalagi sekarang ini seksualitas sangat sering digunakan sebagai daya tarik dalam pesan-pesan komersial (ingat, bicara tentang seksualitas tidak sesempit bicara soal arti hubungan seksual saja). Kesediaan orangtua untuk mendiskusikan hal seputar seksualitas akan membuat anak menyadari bahwa orangtua adalah sosok yang tepat untuk diajak bicara, sehingga tidak perlu mencari informasi dari sumber-sumber lain, dan tak hanya itu saja, kesediaan orangtua membicarakan hal-hal seputar seksualitas menjaga pintu komunikasi antara orangtua dan anak selalu terbuka. Ketika anak merasa nyaman membicarakan hal seputar seksualitas dengan orangtua, orangtua bisa yakin bahwa anak akan terbuka juga untuk membicarakan banyak hal lain. 


Last reviewed : Juli 2014

Baca lebih lanjut...

Memarahi Anak


“Marah adalah tanda bahwa orangtua sayang anaknya.” Ungkapan ini memang benar. Memarahi atau menegur merupakan bentuk kepedulian orangtua terhadap anak. Orangtua yang menyayangi anaknya, tidak akan membiarkan anaknya, melainkan segera memberikan teguran begitu melihat anak melakukan sesuatu yang salah.
Usia kanak-kanak merupakan saat yang tepat bagi orangtua untuk menetapkan batasan-batasan guna membentuk karakter anak, sebab pada usia ini, anak masih lemah dan sangat bergantung pada orangtua. Ketika usianya masih kecil, anak mudah menerima aturan yang diberikan orangtua, ini berbeda dengan kondisi saat ia remaja, di mana ia sudah ingin dihargai sebagai seorang yang dewasa dan mandiri sehingga menuntut kebebasan yang lebih banyak. Oleh karena itu, selagi anak masih kecil, orangtua sepatutnya menggunakan kesempatan emas ini untuk mengarahkan perilaku anak dan menginternalisasikan nilai-nilai yang ingin ditanamkan pada diri anak.
Sekalipun marah mengandung maksud baik, jika tidak dilakukan dengan bijaksana, tidak akan membawa hasil seperti yang diharapkan orangtua. Marah yang dilakukan sembarangan bahkan bisa berdampak buruk pada konsep diri anak. Dalam uraian berikut ini, akan disajikan tips bagaimana memarahi anak agar benar-benar bersifat konstruktif atau membangun anak.
Cara yang baik untuk menegur dan memarahi anak :

Menyatakan dengan jelas perilaku mana yang kurang tepat
Orangtua perlu memastikan bahwa anak tahu perilaku mana yang tidak disetujui orangtua atau yang merupakan suatu kesalahan. Mengatakan, “Kamu nakal” belum cukup jelas menunjuk perilaku anak dibandingkan mengatakan, “Kamu memukul adikmu.” Cara menghindari pesan yang tak jelas adalah dengan berbicara tentang kejadian di mana anak melakukan perilaku yang tidak diinginkan.

Memberikan alasan mengapa perilaku itu kurang tepat
Anak butuh memahami alasan mengapa orangtua tidak setuju terhadap perilakunya. Kemukakan bahwa Anda tidak suka ia melakukan perbuatan itu karena perbuatan itu membuat Anda atau orang lain merasa tidak nyaman, atau karena perbuatan itu merugikan diri anak sendiri. Alasan tidak perlu diberikan panjang lebar, mungkin cukup satu-dua kalimat saja, namun yang penting jelas dimengerti anak. Pada kebanyakan kasus, anak langsung bisa mengetahui mengapa orangtua tidak menyukai perilakunya, sebab orangtua sudah pernah menyampaikan pesan berkaitan dengan perilaku itu atau atau pernah memberikan larangan sebelumnya. Seandainya orangtua belum pernah mengajarkan hal itu dan ingin membahas perilaku itu secara lebih mendalam, tunda beberapa saat sesudah orangtua dan anak sama-sama tenang. Ketika suasana hatinya nyaman, anak lebih mau mendengarkan dan lebih terbuka untuk menerima pesan yang disampaikan orangtua.

Menunjukkan cara bagaimana berperilaku yang lebih baik
Orangtua harus memastikan anak tahu apa yang diharapkan darinya. Meski hanya dengan kalimat singkat, beri tahu anak bagaimana cara berperilaku yang lebih baik. Anak akan merasa senang jika ia mengetahui ada jalan untuk memperbaiki kesalahan dan mendapatkan kembali perhatian positif dari orangtua. Seringkali orangtua menganggap anak sudah tahu dengan sendirinya bagaimana seharusnya berperilaku, padahal belum tentu demikian. Ketika sedang dilanda emosi negatif, anak cenderung bingung dan sulit menemukan sendiri bagaimana cara bertindak yang lebih baik. Sebagai contoh, seorang anak yang dimarahi ibunya karena merobohkan bangunan balok kayu adiknya hingga sang adik menangis, bukannya menyusun kembali bangunan yang dirobohkannya, melainkan malah melanjutkan aksinya dengan melempar sang adik dengan balok kayu, karena ia dilanda rasa frustrasi, takut, dan menyesal. Rasa takut yang menyergap anak begitu mendengar orangtuanya marah, sering membuat anak tidak bisa berpikir jernih bagaimana bertindak dengan lebih baik.

Menghindari memberikan hukuman fisik
Hukuman fisik, seperti mencubit, memukul, menjewer, harus dihindari orangtua. Alasannya, hukuman fisik ini akan menciptakan emosi negatif pada diri anak, yaitu perasaan ditolak, marah, terluka, sedih, tertekan, dan takut. Oleh karena saat dihukum anak-anak cenderung tidak berani mengungkapkan rasa marahnya kepada orangtua, biasanya anak hanya akan memendam rasa marah itu. Rasa marah yang ditekan ini selanjutnya berkembang menjadi perasaan bermusuhan atau dendam terhadap orangtua. Alasan lain mengapa orangtua perlu menghindari hukuman fisik adalah karena jika orangtua langsung main tangan saat marah, anak tidak belajar tentang pengendalian emosi. Menghukum secara fisik memberikan pesan kepada anak bahwa menggunakan cara kekerasan untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan adalah hal yang boleh dilakukan, sehingga di kemudian hari anak cenderung mencontohnya.

Menghindari memberikan label atau ungkapan yang bersifat menghakimi secara sepihak
Label adalah satu sifat buruk yang dicapkan pada anak. Orangtua berharap dengan melontarkan label, anak mudah mengerti sifat buruk mana yang harus diubahnya. Akan tetapi, penggunaan label berisiko membuat anak mengembangkan konsep diri sesuai dengan sifat buruk yang terkandung pada label tersebut. Ini disebabkan karena label begitu mudah diingat anak. Selain itu, anak cenderung percaya pada kata-kata orang dewasa, sehingga ketika mendengar orangtua mengatakan bahwa dirinya mempunyai sifat buruk tersebut, anak melihat bahwa dirinya memang memiliki sifat buruk seperti itu. Sebagai contoh, jika orangtua memarahi anak dengan berkata, “Kamu malas,” anak pun akan memandang bahwa dirinya adalah seorang pemalas. Semakin sering orangtua mengucapkan label, akan semakin kuat tertanam konsep diri seperti label tersebut. Mengucapkan label juga sama dengan menyampaikan nada pesimis terhadap anak sehingga membuat anak jadi tidak mampu melihat kemungkinan bahwa dirinya bisa menjadi lebih baik. Akibatnya, anak justru melakukan perilaku buruk tersebut terus-menerus. Seorang anak yang mempunyai konsep diri sebagai anak nakal, misalnya, akan terus melakukan perilaku-perilaku yang dikategorikan sebagai nakal, seolah-olah hendak membuktikan bahwa dirinya memang nakal. Berikut ini beberapa contoh kalimat memarahi anak dengan menggunakan label atau ungkapan yang menghakimi secara sepihak :
“Kamu ceroboh.”
“Kamu boros.”
“Kamu tukang bohong.”
“Kamu jahat.”
“Kamu anak egois.”
“Kamu tidak sayang mama-papa.”
“Kamu senang kalau adikmu menangis.”

Menghindari generalisasi dengan menggunakan kata “selalu,” “tidak pernah,” “kalau ada kamu.”
Contoh kalimat memarahi anak dengan menggeneralisasi adalah :
“Kamu memang selalu menyusahkan.”
“Kamu selalu bikin papa-mama malu.”
“Kamu tidak pernah membantu mama.”
“Kalau ada kamu, semua pasti berantakan.”
Generalisasi semacam ini biasanya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Mungkin karena begitu kesalnya orangtua, tingkat frekuensi anak melakukan perilaku buruk yang sebenarnya hanya pada tingkat ‘sering’, misalnya, jadi dinyatakan orangtua sebagai ‘selalu’, atau tingkat frekuensi anak melakukan perilaku baik yang ‘jarang’, jadi dinyatakan sebagai ‘tidak pernah.’ Dengan melakukan generalisasi seperti ini, berarti orangtua mengabaikan dan melupakan begitu saja perilaku baik yang pernah dilakukan anak. Semestinya, sekecil apapun kebaikan yang dilakukan anak, orangtua tetap memperhitungkannya. Anak akan bersemangat meningkatkan perilaku baiknya jika ia tahu orangtua memperhatikan perilaku baik tersebut. Ketika anak merasa bahwa orangtua sama sekali mengabaikan usahanya untuk berperilaku baik, anak pun jadi patah semangat dan tidak termotivasi lagi untuk meningkatkan perilaku baiknya.

Menghindari memberikan ancaman yang tak masuk akal
Sebaiknya orangtua tidak mengancam anak bila tahu tidak akan pernah menjalankan isi ancaman tersebut. Anak tidak akan menjadi takut, dan justru meremehkan kata-kata orangtua jika orangtua sering memberikan ancaman yang hanya omong kosong belaka. Sebagai contoh, jangan berkata, “Rino, kalau kamu malas belajar terus, papa akan masukkan kamu ke asrama,” atau “Siska, kalau kamu nakali adikmu terus, Mama buang si Kitty kucingmu.”

Menunjukkan sikap tegas
Menegur atau memarahi anak tidak perlu menggunakan suara keras atau bentakan, yang penting, ketika berbicara dengan anak, orangtua yakin dan percaya diri. Orangtua harus menyadari bahwa posisinya memang lebih superior daripada anak, dan bahwa memberikan arahan kepada anak adalah sebuah kewajiban orangtua. Orangtua tidak perlu khawatir bahwa anak akan membenci orangtua jika orangtua menegur atau memarahi anak. Cukup banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa sebenarnya anak justru merasa aman jika ia diberi batasan daripada jika orangtua membiarkannya berperilaku sesuka hati. Anak yang diasuh dengan diberi kebebasan sepenuhnya untuk melakukan apapun, akan menjadi bingung karena tidak mengetahui dengan pasti apa yang dikehendaki orangtua, sehingga tumbuh menjadi pribadi yang ragu-ragu dan kurang percaya diri. Lain halnya dengan anak yang menerima arahan dari orangtua, ia paham bagaimana bertingkah laku seperti harapan orangtua, sehingga ia pun merasa aman. Perasaan aman ini selanjutnya membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri. Jadi, tidak alasan untuk menjadi bimbang jika suatu ketika Anda harus menegur atau memarahi anak. Ketika orangtua sudah menetapkan batasan, orangtua berkewajiban menjaga secara konsisten agar batasan itu tidak dilanggar.
Baca lebih lanjut...

Jumat, 24 September 2010

Mengasuh Anak Paska Perceraian


Ketika langkah cerai terpaksa ditempuh, rasa bersalah terhadap anak mungkin menghinggapi Anda, karena sebagai orangtua Anda merasa tak dapat melakukan yang terbaik untuk mereka, yaitu mempertahankan perkawinan Anda. Memang tak dapat dipungkiri bahwa perceraian berpotensi merusak kehidupan anak. Perceraian mengakibatkan anak terpaksa berpisah dengan salah satu orangtua, dan kehidupan keluarga yang mengalami banyak perubahan setelah perceraian menuntut anak untuk beradaptasi. Akan tetapi, sekalipun perceraian membawa serangkaian masalah dan dampak buruk untuk anak, sesungguhnya masih ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk membuat anak merasa lebih baik. Anda tidak hanya bisa membantu mengobati rasa pedih dan kecewa yang dirasakan anak, tetapi juga bisa membimbing mereka untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa. Perlu diketahui, jika orangtua bisa mengusahakan tertanganinya permasalahan sehari-hari di masa krisis sesudah perceraian, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa dan lebih tahan banting daripada anak-anak lain. Mereka juga akan menjadi pengambil keputusan yang baik.
Mengasuh anak sesudah perceraian memang bukan hal yang mudah. Di saat Anda sedang mengalami guncangan emosi hebat, Anda dituntut untuk tetap mengurus dan memenuhi kebutuhan anak Anda dengan baik. Tampaknya tak ada waktu bagi Anda untuk berhenti dan beristirahat sejenak dari perjalanan hidup yang melelahkan ini. Masalah semakin bertambah ketika anak Anda mulai menunjukkan perubahan perilaku yang tidak Anda kehendaki, mungkin mereka menjadi agresif, lebih mudah marah, lebih manja, sering rewel, mudah menangis, atau sulit diatur. Semuanya membuat Anda merasa semakin sulit. Di bawah ini, akan diberikan beberapa langkah yang meskipun tidak akan memperingan beban Anda, bisa membantu Anda lebih efektif memenuhi kebutuhan anak. Dengan semaksimal mungkin memberikan apa yang dibutuhkan anak, Anda bisa membuat mereka lebih mudah melewati saat-saat sulit yang menguras tenaga serta emosi ini. Apabila anak cepat beradaptasi dengan situasi ini, Anda pun tentu akan merasa jauh lebih baik.

Memahami perasaan anak
Memahami apa yang mereka rasakan akan membuat Anda lebih mudah membantu mereka. Berikut ini adalah berbagai perasaan yang umumnya dirasakan anak yang orangtuanya bercerai :
# Anak marah karena merasa bahwa keputusan cerai itu adalah keputusan sepihak yang diambil orangtua tanpa melibatkan dirinya atau tanpa mempertimbangkan pendapatnya.
# Anak merasa bersalah, merasa dirinya menjadi penyebab perceraian kedua orangtuanya. Perasaan ini timbul karena anak, terutama yang usianya masih kecil, belum mampu sepenuhnya memahami alasan mengapa kedua orangtuanya bercerai. Mereka mungkin masih ingat betul bahwa ketika itu mama dan papa bertengkar hebat sesudah dirinya jatuh terpeleset genangan ompol, atau karena dirinya menyenggol keramik di swalayan hingga pecah. Mereka melihat bahwa pertengkaran kedua orangtua mereka terjadi akibat ulah mereka, sehingga berpikir bahwa mereka lah yang menjadi penyebab perceraian ini.
# Anak khawatir tidak bisa bertemu orangtuanya lagi
# Anak bingung karena ingin menyayangi kedua orangtuanya tapi kenyataannya kedua orangtuanya bermusuhan dan bahkan salah satu orangtuanya telah pergi.
# Anak khawatir orangtuanya tidak lagi mencintainya dan akan menelantarkan dirinya. Melihat bahwa salah satu orangtua meninggalkan rumah membuat anak merasa tidak dicintai dan dianggap remeh. Anak berpikir bahwa orangtua yang pergi tega meninggalkan ayah/ibunya serta dirinya. Hal ini selanjutnya membawa pikiran negatif dalam diri anak, jangan-jangan ayah/ibu yang saat ini bersamanya pun suatu saat akan pergi meninggalkannya.
#Anak terlalu mencemaskan kesehatan dan kesejahteraan orangtua yang mengasuhnya, khawatir kalau-kalau suatu saat orangtua pengasuh tersebut tidak bisa merawat mereka lagi.
Anak-anak tidak memiliki kematangan emosi untuk menghadapi peristiwa yang sangat menyedihkan, sehingga mereka cenderung memanifestasikan perasaan sedih, marah, kecewa dalam berbagai perilaku yang menimbulkan masalah. Beberapa anak bahkan menderita sakit psikosomatis (sakit yang bersumber dari kondisi psikologis, bukan dari sumber fisik), seperti mual, sakit perut, pusing. Ada juga anak yang berusaha mati-matian mengubur perasaannya dan mati-matian berusaha menjadi anak yang baik. Langkah pertama yang bisa Anda lakukan untuk membantu mereka beradaptasi dengan peristiwa buruk ini adalah menerima perasaan-perasaan mereka. Berikan toleransi kepada mereka dalam mengekspresikan perasaan mereka, sambil perlahan-lahan mengalihkan perhatian mereka pada hal-hal positif atau hal-hal yang bisa membuat mereka lebih gembira.

Menciptakan emosi positif pada anak
Tidak baik jika anak terus berlarut-larut dalam perasaan sedih, kecewa, atau marah. Anda bisa melakukan sesuatu untuk mengurangi kesedihan dan mengembalikan keceriaan mereka. Berikut ini langkah yang bisa Anda lakukan :
# Katakan bahwa banyak juga keluarga lain yang terpaksa bercerai, bahkan mungkin ada teman sekelasnya yang mama-papanya bercerai.
# Katakan bahwa Anda akan selamanya menjadi orangtua mereka yang akan selalu menyayangi dan menjaga mereka.
# Katakan bahwa meski pasangan Anda tidak lagi tinggal bersama, dia akan tetap menjadi orangtua mereka. Beri tahu di mana pasangan Anda akan tinggal, dan bagaimana mereka bisa berkomunikasi atau bertemu.
# Ajak anak membantu urusan pekerjaan rumah tangga Anda. Anak akan senang dan bangga jika merasa dirinya bisa berguna bagi orangtua, oleh karena itu, ajak anak melakukan pekerjaan rumah kecil-kecil bersama Anda, misalnya menata meja makan, menyiram tanaman, atau memasukkan pakaian yang sudah dikeringkan ke dalam keranjang. Bagi anak, melakukan pekerjaan rumah bersama Anda adalah suatu hal tak kalah asyiknya dibanding bermain. Tentu saja hasil pekerjaan mereka seringkali tidak memuaskan, akan tetapi, jangan fokuskan perhatian Anda pada kesempurnaan pekerjaan mereka, lihatlah saja kemauan mereka untuk membantu Anda karena mereka begitu mencintai Anda.
# Berikan hadiah kecil. Anda tidak perlu memberikan mereka mainan yang mahal-mahal untuk membuat anak senang. Cukup dengan membuatkan mereka agar-agar, cokelat, atau kue kering yang dibentuk menjadi binatang lucu-lucu, atau mengajak mereka jalan-jalan dan membelikan es krim.
# Dukung anak untuk bermain bersama temannya. Bermain dengan teman sebaya akan menghindarkan anak dari rasa kesepian. Sarankan anak untuk mengajak temannya berenang bersama, bersepeda, atau sekedar bermain di rumah. Jangan biarkan anak Anda mengurung diri atau menarik diri dari pergaulan.
Menciptakan suasana rumah yang menyenangkan penting dilakukan, karena apabila orangtua mampu menciptakan kegembiraan di rumah, anak-anak akan lebih cepat menyesuaikan diri terhadap perceraian orangtua.

Meminimalkan perubahan
Perceraian orangtua membawa serentetan perubahan yang menuntut anak untuk beradaptasi. Oleh karena itu, usahakan tidak menambah lagi perubahan dalam rutinitas anak. Jaga pola makan dan tidur anak. Biarkan anak bersekolah di sekolah yang sama. Akan sangat membantu jika Anda bisa mengupayakan agar anak tinggal di rumah yang sama setidaknya selama 1-2 tahun setelah perceraian.

Mengatur pertemuan dengan orangtua tanpa hak asuh
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang kedua orangtuanya tetap aktif menjalankan pengasuhan sekalipun telah berpisah, lebih besar kemungkinannya untuk berkembang menjadi anak yang mudah menyesuaikan diri, memiliki harga diri yang baik, dan mampu menjalin relasi yang lebih baik dengan orang lain, dibandingkan dengan anak dari keluarga bercerai yang kemudian hanya menerima pengasuhan dari salah satu orangtuanya saja. Oleh karena itu, Anda perlu mengusahakan agar anak tetap menjaga komunikasi dengan orangtua tanpa hak asuh. Aturlah bagaimana cara agar anak secara rutin bisa bertemu dengan mantan pasangan Anda. Berikan izin kepada mantan pasangan Anda untuk mengunjungi anak secara teratur, atau jika tidak, Anda lah yang mengantarkan anak ke rumahnya. Demi menjaga kedekatan emosional, sebaiknya anak juga tidak hanya bertemu selama satu-dua jam, tetapi bisa menghabiskan waktu bersama sehari atau semalam tiap minggunya, sangat baik jika anak bisa menginap di rumah pasangan Anda. Mengatur pertemuan anak dengan mantan pasangan Anda tentu tidak mudah dilakukan. Pertemuan dengan mantan pasangan Anda cenderung memicu kembali pertengkaran antara Anda berdua. Selain itu, rasa benci, marah, dan sakit hati terhadap mantan pasangan membuat Anda sangat sulit merelakan kepergian anak untuk bertemu dengannya. Akan tetapi, ingatlah bahwa semua ini Anda lakukan semata-mata demi anak. Dengan tetap berkomunikasi dengan orangtuanya, anak tidak terlalu merasa kehilangan dan bisa tetap merasakan bahwa dirinya dicintai. Selain itu, anak juga mengetahui dengan pasti bahwa keadaan orangtuanya sehat, sehingga tidak perlu merasa cemas.
Anak-anak memang pada mulanya sering tampak tidak antusias merespon pertemuan atau kunjungan ini. Hal ini wajar, karena anak memahami adanya konflik di antara Anda, sehingga takut kalau-kalau dengan mengekspresikan rasa senang dan sayang kepada mantan pasangan Anda, ia seolah mengkhianati Anda. Selain itu, anak mungkin juga khawatir jika Anda sendirian dan kesepian ketika ia sedang bersama mantan pasangan Anda. Oleh karena itu sangat baik jika Anda mendorongnya agar ia menikmati waktu bersama mantan pasangan Anda tanpa mencemaskan keadaan Anda. Ketika waktu pertemuan belum tiba dan Anda melihat anak sudah merasa kangen, Anda bisa menyarankan anak untuk menelepon atau mengirim pesan singkat.

Meminta dukungan orang dekat
Anda harus menyadari bahwa memaksakan diri mengasuh anak sendirian tidak baik bagi diri Anda maupun anak. Kelelahan yang berlebihan membuat Anda tidak efektif mengasuh anak. Oleh karena itu, mintalah orang-orang dekat untuk membantu, kakek-nenek, tetangga, atau teman Anda. Sekalipun mungkin hanya 30 menit, atau bahkan 15 menit, Anda akan merasakan manfaatnya. Ketika mereka sedang menjaga anak Anda, jangan sibuk mengurusi tugas-tugas rumah tangga, gunakan waktu untuk diri Anda sendiri dengan melakukan sesuatu yang bisa menyenangkan diri Anda, sekalipun sekedar minum secangkir teh atau kopi. Mengajak orang dekat untuk membantu mengasuh juga membuka kesempatan bagi anak untuk menjalin hubungan dekat dengan orang lain selain orangtua. Hal ini penting agar anak tidak bergantung 100% kepada sosok Anda. Anak perlu tahu bahwa selain Anda, masih ada orang lain yang mencintainya dan bisa dijadikan tempat bergantung.

Menjaga kesehatan fisik dan emosional diri Anda sendiri
Perceraian sudah tentu membawa beban berat ke dalam hidup Anda, stres, depresi, dan lelah tak terkira. Anda butuh tetap sehat dan kuat untuk melanjutkan tugas mengasuh anak. Jangan sampai Anda mengabaikan kesehatan Anda. Sedapat mungkin, ambil waktu untuk beristirahat dan menenangkan diri Anda. Ketika Anda merasa sehat, Anda lebih mudah pulih dari guncangan emosi, dan tentunya, juga lebih siap menghadapi anak. Yang terpenting, apabila anak melihat bahwa orangtuanya tetap kuat, sehat dan gembira, mereka akan lebih cepat bangkit dari kesedihan dan stres paska perceraian ini. Kuatkan diri Anda, dan yakin bahwa sesudah masa-masa sulit ini, Anda akan menikmati hidup yang lebih baik.

Hal yang perlu dihindari
# Jangan menceritakan masalah antara Anda dan pasangan atau menceritakan keburukan pasangan Anda. Berapa pun usia anak, anak tidak akan mampu menanggung masalah yang Anda ceritakan kepada mereka. Menceritakan masalah kepada anak hanya akan menambah beban pikiran anak dan menciptakan konflik dalam hati mereka. Anda juga tidak perlu menambah satu kebencian lagi dalam hati anak kepada mantan pasangan Anda. Kebencian mengurangi kebahagiaan.
# Jangan mengumbar harapan kosong. Apabila Anda tahu bahwa pasangan Anda tidak akan pernah kembali, jangan menghibur anak dengan mengatakan bahwa orangtuanya akan kembali. Biarkan anak menghadapi kenyataan pahit ini. Lambat laun dia akan mampu menerimanya.
# Jangan mengenalkan pasangan baru untuk sementara waktu. Anak membutuhkan waktu 2-5 tahun, bahkan lebih untuk beradaptasi dengan perceraian orangtuanya. Oleh karena itu, setidaknya dalam waktu 2 tahun, hindari mengenalkan pasangan baru ke dalam hidup anak.

Khusus untuk orangtua tanpa hak asuh
Jika Anda adalah orangtua tanpa hak asuh, sangat penting untuk meyakinkan anak bahwa dirinya tetap menjadi bagian penting dari hidup Anda. Jaga komunikasi, tepati janji untuk bertemu dengannya, hadirilah pentas atau pertandingannya, juga jangan lupa ucapkan selamat pada hari ulang tahunnya.

Sumber inspirasi :
Charlish, A., 2005. Terjebak di Tengah (alih bahasa : Soraya Abdat). Jakarta : PT Primamedia Pustaka.
Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D., 2003. Human Development. New York : McGraw-Hill.

Baca lebih lanjut...

Mengasuh Anak di Tengah Badai Rumah Tangga


Ketika rumah tangga Anda sehari-hari diwarnai oleh pertengkaran dengan pasangan yang tak kunjung habis, Anda mungkin khawatir bila anak terkena dampak buruk konflik ini. Akan tetapi, percayalah bahwa usaha Anda untuk tetap bertahan dalam konflik ini jauh lebih bermanfaat bagi anak Anda daripada jika Anda dengan tergesa-gesa mengambil keputusan cerai. Dulu, memang ada pandangan bahwa anak lebih baik mengalami perceraian orangtua daripada sehari-hari melihat ketidakharmonisan orangtuanya. Akan tetapi, pandangan ini telah terbukti keliru. Sekalipun konflik antarorangtua mengakibatkan stress pada anak, namun tingkat stress yang dialami anak ketika orangtuanya berkonflik lebih kecil dibandingkan jika anak mengalami kehilangan salah satu orangtua akibat perceraian. Sangat sedikit anak yang merasa senang melihat kepergian salah satu orangtuanya bagaimanapun parahnya perkawinan tersebut. Kehilangan salah satu orangtua akibat perceraian merupakan sumber stress paling besar. Perlu diketahui bahwa anak-anak yang mengalami perceraian kedua orangtua, selama kurun waktu yang lama, bahkan sampai orangtuanya menjalin hubungan baru, terus menyimpan harapan dalam hati bahwa kedua orangtuanya bisa bersatu kembali.
Merupakan hal yang sangat bijaksana jika Anda tetap berusaha bertahan dalam situasi konflik dengan pasangan dan menghindari kata “cerai”, mengingat perceraian adalah sebuah keputusan yang pasti membawa akibat buruk, tidak hanya bagi anak, melainkan juga Anda berdua sebagai orangtua. Perceraian mengganggu berbagai aspek kehidupan anak, mengganggu emosinya, relasi sosialnya, prestasi belajarnya, dan bahkan membawa pengaruh buruk sampai ke kehidupannya sebagai orang dewasa, terutama ketika ia membina hubungan dengan pasangannya kelak. Bagi orangtua sendiri, perceraian bisa membawa dampak stress, depresi, rasa bersalah, kehilangan dukungan, kehilangan relasi dengan anak, kesulitan ekonomi, dan akibat-akibat buruk lain yang bisa disesali seumur hidup. Banyak orangtua bercerai yang lupa mempertimbangkan efek-efek negatif ini. Mereka berpikir bahwa perceraian akan membawa keadaan yang lebih baik, namun kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi. Jarang sekali perceraian menjadi solusi terbaik yang membawa kebaikan bagi kedua belah pihak. Setelah keputusan cerai diambil, banyak wanita maupun pria yang akhirnya menyesal, dan mereka mengakui bahwa sebenarnya perceraian tersebut masih bisa dihindari.

Mengurangi stres pada anak

Yang penting dilakukan dalam mengasuh anak saat orangtua mengalami konflik dengan pasangan adalah berusaha meminimalkan dampak stress pada anak. Anak, karena kepekaannya, mudah membaca ketidakberesan hubungan antara ayah dan ibunya. Sekalipun anak tidak memahami benar situasinya, anak mampu merasakan ketegangan yang dialami ayah atau ibunya. Kesedihan, ketegangan yang dialami ayah dan ibu biasanya membuat anak juga merasa sedih, khawatir dan stres. Meskipun demikian, anak-anak sulit untuk mengungkapkan perasaannya dalam bentuk kata-kata, sehingga orangtua hanya bisa membaca stress yang mereka alami melalui perilaku yang mereka tunjukkan. Ketika anak mengalami stress, mereka akan menunjukkan perubahan perilaku yang mudah dikenali orangtua. Anak-anak mungkin menjadi cengeng, sulit diatur, suka bertengkar, agresif, ceroboh, mengompol lagi setelah sekian lama sudah berhenti mengompol, manja dan tidak mau ditinggalkan sebentar pun, sulit tidur, tidak tertarik dengan aktivitas yang biasa menjadi hobinya, atau mengalami sakit seperti sakit perut, pusing, dan lain-lainnya.
Dalam kondisi anak mengalami stress, orangtua adalah satu-satunya figur yang paling mampu meringankan stress yang dialami anak. Oleh karena itu, usaha yang dilakukan orangtua sangat berarti. Anak akan merasa lebih nyaman bila orangtua tetap menunjukkan cinta dan dukungannya kepada anak. Sedapat mungkin, Anda dan pasangan Anda tetap berusaha berkomunikasi dengan anak secara positif, sekalipun komunikasi antara Anda berdua sedang buruk.
Ketika Anda sedang bergelut dengan perasaan kacau akibat konflik dengan pasangan, sangat wajar bila Anda maupun pasangan menjadi mudah terpancing emosi. Kekesalan Anda terhadap pasangan mungkin meluap menjadi kemarahan besar pada anak saat melihat kelakuan anak yang buruk, atau sebaliknya, kekesalan Anda pada kelakuan anak yang buruk mungkin meluap dalam bentuk kemarahan kepada pasangan Anda sehingga menyebabkan Anda atau pasangan bertengkar hebat lagi. Oleh karena itu, merupakan hal yang penting untuk menyadari dan memahami perasaan-perasaan yang sedang Anda alami, agar Anda lebih mudah mengendalikan perasaan tersebut dan anak tidak menjadi korban letusan emosi Anda. Anak-anak bisa merasa bersalah atas terjadinya pertengkaran kedua orangtuanya. Jika anak melihat kedua orangtuanya bertengkar setelah dirinya melakukan suatu perilaku buruk atau mengalami ‘kecelakaan’ anak akan mengira bahwa gara-gara dirinya lah ayah dan ibunya bertengkar, apalagi bila ia mendengar ayah dan ibunya saling menyalahkan atas perilaku buruk yang dilakukannya atau kecelakaan yang dialaminya tersebut. Perasaan bersalah yang dialami anak ini akan semakin membuat anak stress. Seandainya Anda terlanjur bertengkar dan saling menyalahkan dengan pasangan Anda dan hal ini dilihat anak, Anda bisa memberi tahu anak bahwa sesungguhnya Anda tidak bertengkar karena perilaku anak, melainkan Anda bertengkar karena sebelumnya memang sedang merasa kesal.
Merupakan hal yang sangat penting untuk menghindarkan anak dari melihat langsung ayah atau ibunya disakiti secara fisik. Anak sangat menderita bila ia melihat bahwa ayah atau ibu yang dicintainya dilukai, bahkan anak bisa mengalami trauma psikis karenanya. Apabila Anda dan pasangan selalu terlibat dalam kekerasan fisik ketika bertengkar, kemungkinan jalan terbaik yang harus Anda tempuh adalah menghindar dari pasangan dengan keluar rumah untuk sementara waktu begitu Anda merasakan tanda-tanda akan segera terjadi kekerasan fisik antara Anda berdua.

Meredakan ‘badai’

Konflik merupakan suatu hal yang tidak pernah luput dari semua perkawinan. Semua pasangan yang harmonis pun mengalami saat-saat yang menguras perasaan dan pikiran tersebut. Satu-satunya langkah untuk keluar dari konflik adalah dengan bersedia untuk berdiskusi, di mana dalam diskusi itu kedua pihak mau berkomunikasi secara terbuka dan mau saling mendengarkan. Tentu saja hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Ketika kita berseteru dengan pasangan kita, hilang perasaan cinta dan belas kasih kita kepadanya, dan diri kita lebih dikuasai oleh rasa gengsi yang membuat kita ingin bertahan pada ‘posisi terhormat’. Kita merasa diri kita benar atau enggan untuk dengan jujur merendahkan diri dan mengakui kesalahan kita. Seandainya salah satu pasangan mau untuk melepaskan gengsinya terlebih dahulu, umumnya jalan penyelesaian konflik pun akan terbuka, sebab komunikasi yang efektif dimungkinkan terjadi di sini. Komunikasi yang efektif, yang menjadi syarat terselesaikannya sebuah konflik, baru bisa berjalan jika kedua pihak mau mendengarkan dan berbicara dengan terbuka namun penuh pengendalian diri. Oleh karena komunikasi yang efektif seperti itu sulit dilakukan, maka merupakan hal yang sangat bijaksana jika pasangan suami-istri mau meminta pertolongan seorang ahli atau konsultan perkawinan.
Seorang konsultan bisa membuka jalan komunikasi, membantu pasangan suami-istri untuk berbicara secara terbuka, sambil mengarahkan komunikasi pada tujuan mencapai pemahaman penuh atas permasalahan yang sedang dihadapi. Konsultasi bisa mengungkapkan masalah-masalah yang tersembunyi di balik konflik, yang mungkin tidak disadari sepenuhnya oleh kedua pihak suami-istri. Pemahaman atas masalah yang mendasari konflik selanjutnya bisa memungkinkan suami-istri menemukan jalan untuk menyelesaikan konflik. Konsultasi dengan bantuan ahli juga bisa membantu suami-istri menemukan kembali sisi-sisi indah dari perkawinan yang bisa menguatkan kembali cinta kasih antara suami-istri. Jangan ragu-ragu untuk menemui konsultan atau ahli, karena konsultasi bisa membawa manfaat lebih daripada yang Anda bayangkan.

Sumber inspirasi :
Charlish, A., 2005. Terjebak di Tengah (Alih bahasa : Soraya Abdat). Jakarta : PT Primamedia Pustaka.

Baca lebih lanjut...