Selasa, 24 Mei 2011

Memarahi Anak


“Marah adalah tanda bahwa orangtua sayang anaknya.” Ungkapan ini memang benar. Memarahi atau menegur merupakan bentuk kepedulian orangtua terhadap anak. Orangtua yang menyayangi anaknya, tidak akan membiarkan anaknya, melainkan segera memberikan teguran begitu melihat anak melakukan sesuatu yang salah.
Usia kanak-kanak merupakan saat yang tepat bagi orangtua untuk menetapkan batasan-batasan guna membentuk karakter anak, sebab pada usia ini, anak masih lemah dan sangat bergantung pada orangtua. Ketika usianya masih kecil, anak mudah menerima aturan yang diberikan orangtua, ini berbeda dengan kondisi saat ia remaja, di mana ia sudah ingin dihargai sebagai seorang yang dewasa dan mandiri sehingga menuntut kebebasan yang lebih banyak. Oleh karena itu, selagi anak masih kecil, orangtua sepatutnya menggunakan kesempatan emas ini untuk mengarahkan perilaku anak dan menginternalisasikan nilai-nilai yang ingin ditanamkan pada diri anak.
Sekalipun marah mengandung maksud baik, jika tidak dilakukan dengan bijaksana, tidak akan membawa hasil seperti yang diharapkan orangtua. Marah yang dilakukan sembarangan bahkan bisa berdampak buruk pada konsep diri anak. Dalam uraian berikut ini, akan disajikan tips bagaimana memarahi anak agar benar-benar bersifat konstruktif atau membangun anak.
Cara yang baik untuk menegur dan memarahi anak :

Menyatakan dengan jelas perilaku mana yang kurang tepat
Orangtua perlu memastikan bahwa anak tahu perilaku mana yang tidak disetujui orangtua atau yang merupakan suatu kesalahan. Mengatakan, “Kamu nakal” belum cukup jelas menunjuk perilaku anak dibandingkan mengatakan, “Kamu memukul adikmu.” Cara menghindari pesan yang tak jelas adalah dengan berbicara tentang kejadian di mana anak melakukan perilaku yang tidak diinginkan.

Memberikan alasan mengapa perilaku itu kurang tepat
Anak butuh memahami alasan mengapa orangtua tidak setuju terhadap perilakunya. Kemukakan bahwa Anda tidak suka ia melakukan perbuatan itu karena perbuatan itu membuat Anda atau orang lain merasa tidak nyaman, atau karena perbuatan itu merugikan diri anak sendiri. Alasan tidak perlu diberikan panjang lebar, mungkin cukup satu-dua kalimat saja, namun yang penting jelas dimengerti anak. Pada kebanyakan kasus, anak langsung bisa mengetahui mengapa orangtua tidak menyukai perilakunya, sebab orangtua sudah pernah menyampaikan pesan berkaitan dengan perilaku itu atau atau pernah memberikan larangan sebelumnya. Seandainya orangtua belum pernah mengajarkan hal itu dan ingin membahas perilaku itu secara lebih mendalam, tunda beberapa saat sesudah orangtua dan anak sama-sama tenang. Ketika suasana hatinya nyaman, anak lebih mau mendengarkan dan lebih terbuka untuk menerima pesan yang disampaikan orangtua.

Menunjukkan cara bagaimana berperilaku yang lebih baik
Orangtua harus memastikan anak tahu apa yang diharapkan darinya. Meski hanya dengan kalimat singkat, beri tahu anak bagaimana cara berperilaku yang lebih baik. Anak akan merasa senang jika ia mengetahui ada jalan untuk memperbaiki kesalahan dan mendapatkan kembali perhatian positif dari orangtua. Seringkali orangtua menganggap anak sudah tahu dengan sendirinya bagaimana seharusnya berperilaku, padahal belum tentu demikian. Ketika sedang dilanda emosi negatif, anak cenderung bingung dan sulit menemukan sendiri bagaimana cara bertindak yang lebih baik. Sebagai contoh, seorang anak yang dimarahi ibunya karena merobohkan bangunan balok kayu adiknya hingga sang adik menangis, bukannya menyusun kembali bangunan yang dirobohkannya, melainkan malah melanjutkan aksinya dengan melempar sang adik dengan balok kayu, karena ia dilanda rasa frustrasi, takut, dan menyesal. Rasa takut yang menyergap anak begitu mendengar orangtuanya marah, sering membuat anak tidak bisa berpikir jernih bagaimana bertindak dengan lebih baik.

Menghindari memberikan hukuman fisik
Hukuman fisik, seperti mencubit, memukul, menjewer, harus dihindari orangtua. Alasannya, hukuman fisik ini akan menciptakan emosi negatif pada diri anak, yaitu perasaan ditolak, marah, terluka, sedih, tertekan, dan takut. Oleh karena saat dihukum anak-anak cenderung tidak berani mengungkapkan rasa marahnya kepada orangtua, biasanya anak hanya akan memendam rasa marah itu. Rasa marah yang ditekan ini selanjutnya berkembang menjadi perasaan bermusuhan atau dendam terhadap orangtua. Alasan lain mengapa orangtua perlu menghindari hukuman fisik adalah karena jika orangtua langsung main tangan saat marah, anak tidak belajar tentang pengendalian emosi. Menghukum secara fisik memberikan pesan kepada anak bahwa menggunakan cara kekerasan untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan adalah hal yang boleh dilakukan, sehingga di kemudian hari anak cenderung mencontohnya.

Menghindari memberikan label atau ungkapan yang bersifat menghakimi secara sepihak
Label adalah satu sifat buruk yang dicapkan pada anak. Orangtua berharap dengan melontarkan label, anak mudah mengerti sifat buruk mana yang harus diubahnya. Akan tetapi, penggunaan label berisiko membuat anak mengembangkan konsep diri sesuai dengan sifat buruk yang terkandung pada label tersebut. Ini disebabkan karena label begitu mudah diingat anak. Selain itu, anak cenderung percaya pada kata-kata orang dewasa, sehingga ketika mendengar orangtua mengatakan bahwa dirinya mempunyai sifat buruk tersebut, anak melihat bahwa dirinya memang memiliki sifat buruk seperti itu. Sebagai contoh, jika orangtua memarahi anak dengan berkata, “Kamu malas,” anak pun akan memandang bahwa dirinya adalah seorang pemalas. Semakin sering orangtua mengucapkan label, akan semakin kuat tertanam konsep diri seperti label tersebut. Mengucapkan label juga sama dengan menyampaikan nada pesimis terhadap anak sehingga membuat anak jadi tidak mampu melihat kemungkinan bahwa dirinya bisa menjadi lebih baik. Akibatnya, anak justru melakukan perilaku buruk tersebut terus-menerus. Seorang anak yang mempunyai konsep diri sebagai anak nakal, misalnya, akan terus melakukan perilaku-perilaku yang dikategorikan sebagai nakal, seolah-olah hendak membuktikan bahwa dirinya memang nakal. Berikut ini beberapa contoh kalimat memarahi anak dengan menggunakan label atau ungkapan yang menghakimi secara sepihak :
“Kamu ceroboh.”
“Kamu boros.”
“Kamu tukang bohong.”
“Kamu jahat.”
“Kamu anak egois.”
“Kamu tidak sayang mama-papa.”
“Kamu senang kalau adikmu menangis.”

Menghindari generalisasi dengan menggunakan kata “selalu,” “tidak pernah,” “kalau ada kamu.”
Contoh kalimat memarahi anak dengan menggeneralisasi adalah :
“Kamu memang selalu menyusahkan.”
“Kamu selalu bikin papa-mama malu.”
“Kamu tidak pernah membantu mama.”
“Kalau ada kamu, semua pasti berantakan.”
Generalisasi semacam ini biasanya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Mungkin karena begitu kesalnya orangtua, tingkat frekuensi anak melakukan perilaku buruk yang sebenarnya hanya pada tingkat ‘sering’, misalnya, jadi dinyatakan orangtua sebagai ‘selalu’, atau tingkat frekuensi anak melakukan perilaku baik yang ‘jarang’, jadi dinyatakan sebagai ‘tidak pernah.’ Dengan melakukan generalisasi seperti ini, berarti orangtua mengabaikan dan melupakan begitu saja perilaku baik yang pernah dilakukan anak. Semestinya, sekecil apapun kebaikan yang dilakukan anak, orangtua tetap memperhitungkannya. Anak akan bersemangat meningkatkan perilaku baiknya jika ia tahu orangtua memperhatikan perilaku baik tersebut. Ketika anak merasa bahwa orangtua sama sekali mengabaikan usahanya untuk berperilaku baik, anak pun jadi patah semangat dan tidak termotivasi lagi untuk meningkatkan perilaku baiknya.

Menghindari memberikan ancaman yang tak masuk akal
Sebaiknya orangtua tidak mengancam anak bila tahu tidak akan pernah menjalankan isi ancaman tersebut. Anak tidak akan menjadi takut, dan justru meremehkan kata-kata orangtua jika orangtua sering memberikan ancaman yang hanya omong kosong belaka. Sebagai contoh, jangan berkata, “Rino, kalau kamu malas belajar terus, papa akan masukkan kamu ke asrama,” atau “Siska, kalau kamu nakali adikmu terus, Mama buang si Kitty kucingmu.”

Menunjukkan sikap tegas
Menegur atau memarahi anak tidak perlu menggunakan suara keras atau bentakan, yang penting, ketika berbicara dengan anak, orangtua yakin dan percaya diri. Orangtua harus menyadari bahwa posisinya memang lebih superior daripada anak, dan bahwa memberikan arahan kepada anak adalah sebuah kewajiban orangtua. Orangtua tidak perlu khawatir bahwa anak akan membenci orangtua jika orangtua menegur atau memarahi anak. Cukup banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa sebenarnya anak justru merasa aman jika ia diberi batasan daripada jika orangtua membiarkannya berperilaku sesuka hati. Anak yang diasuh dengan diberi kebebasan sepenuhnya untuk melakukan apapun, akan menjadi bingung karena tidak mengetahui dengan pasti apa yang dikehendaki orangtua, sehingga tumbuh menjadi pribadi yang ragu-ragu dan kurang percaya diri. Lain halnya dengan anak yang menerima arahan dari orangtua, ia paham bagaimana bertingkah laku seperti harapan orangtua, sehingga ia pun merasa aman. Perasaan aman ini selanjutnya membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri. Jadi, tidak alasan untuk menjadi bimbang jika suatu ketika Anda harus menegur atau memarahi anak. Ketika orangtua sudah menetapkan batasan, orangtua berkewajiban menjaga secara konsisten agar batasan itu tidak dilanggar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kesediaan Anda memberikan komentar. Komentar yang Anda berikan akan sangat bermanfaat bagi saya dalam mengembangkan tulisan-tulisan saya.