Minggu, 29 Mei 2011

Tips agar Anak Patuh terhadap Orangtua


Orangtua tentu menginginkan anak bersikap kooperatif tatkala orangtua memberikan peraturan, perintah, atau larangan kepadanya. Anak yang bersikap kooperatif bersedia untuk menerima peraturan dan batasan yang diberikan orangtua. Ia patuh karena peduli pada apa yang dikehendaki atau diinginkan orangtua, bukan karena terpaksa atau karena merasa takut pada ancaman atau amarah orangtua. Berikut ini akan dibahas apa saja yang bisa dilakukan orangtua agar anak patuh dan menunjukkan sikap kooperatif kepada orangtua.

Memberikan contoh kepatuhan
Orangtua perlu menunjukkan contoh kepatuhan terhadap otoritas, misalnya saja kepatuhan terhadap peraturan lalu lintas, peraturan di lingkungan tempat tinggal setempat, peraturan di supermarket, hotel, rumah makan yang dikunjungi, dan sebagainya. Contoh yang diberikan orangtua ini memberikan pesan kepada anak, bahwa saat kita berada di bawah suatu otoritas, kita harus tunduk kepada otoritas tersebut, dan bahwa ‘selalu ada yang berwenang di atas kita’ adalah sebuah kenyataan yang harus diterima dalam hidup di dunia ini.

Memberikan peraturan seperlunya
Sebelum memberikan peraturan kepada anak, tanyakan kepada diri sendiri, seberapa penting aturan itu. Hindari memberikan banyak larangan yang sebenarnya tidak terlalu penting. Utamakan membuat peraturan untuk hal-hal yang terkait dengan keselamatan anak dan kesejahteraan orang lain. Peraturan yang penting misalnya, tidak boleh menyakiti orang lain, tidak boleh merusak barang milik orang lain atau milik bersama, tidak boleh bermain benda-benda berbahaya. Terlalu sering orangtua melarang anak melakukan sesuatu hanya karena alasan orangtua tidak ingin dibuat repot oleh anak.

Menjaga secara konsisten standard perilaku dan batasan yang pernah diberikan
Ketika orangtua telah membuat peraturan, orangtua harus menjaga agar peraturan tersebut ditaati. Artinya, jika orangtua mendapati anak melanggarnya, anak harus ditegur, atau diberi konsekuensi (hukuman). Hukuman cukup berupa time out, atau mengurangi akses anak kepada sesuatu yang disukainya seperti tidak boleh bersepeda selama satu hari, tidak boleh menonton satu episode film kartun favorit, tidak mendapat snack sesudah makan malam, dan sebagainya.

Menghindari bertindak diktator
Hindari cara mengasuh yang terlalu otoriter. Jika meminta tolong bisa dilakukan, tidak perlu main perintah. Jangan membiasakan berbicara dengan membentak, maupun menggunakan kekuatan fisik untuk memaksa anak. Ketika memberikan peraturan, jelaskan alasan di balik peraturan tersebut. Sedapat mungkin, jika memberikan perintah, tawarkan pilihan kepada anak. Sebagai contoh, ketika Anda hendak memerintah anak untuk segera menyelesaikan mandinya, Anda bisa menawarkan pilihan untuk segera keluar dari kamar mandi dan jalan-jalan ke taman bersama Anda, atau tetap bermain air di kamar mandi namun tidak jalan-jalan bersama Anda.

Bersedia mendengarkan anak
Bila memungkinkan, sebuah peraturan bisa dibuat berdasarkan kesepakatan bersama anak. Dengarkan apa yang diusulkan oleh anak, sekalipun Anda tidak harus menyetujuinya. Ketika anak mengatakan perasaan tidak senangnya atas peraturan atau perintah Anda, tidak perlu Anda marah. Anda bisa menjelaskan kembali alasan Anda memberikan peraturan atau perintah tersebut, namun tidak perlu melarangnya merasa tidak senang. Soal perasaan, merasa tidak suka akan sesuatu hal adalah hak pribadi anak, yang terpenting adalah anak melaksanakan peraturan atau perintah.

Memastikan anak memahami apa yang diharapkan
Perintah dan larangan yang diberikan harus jelas, spesifik, dan konkrit untuk dilakukan. Sebagai contoh, ketika Anda ingin dia membereskan kamar tidurnya, berikan perintah untuk mengambili semua mainan dan menempatkannya lagi di kotaknya masing-masing, mengeluarkan baju kotornya dari kamar dan memasukkannya di ember baju kotor, merapikan spreinya dan menata bantal-guling di tempatnya.

Menunjukkan sikap optimis
Ketika Anda memberikan perintah atau larangan, tunjukkan bahwa Anda percaya anak akan mematuhinya, lewat nada bicara yang tenang dan tegas, lewat tatapan mata Anda yang penuh keyakinan, lewat ekspresi wajah Anda, atau gerak-gerik Anda yang tenang dan penuh percaya diri. Hindari kata-kata kasar, bentakan, apalagi ancaman. Selain itu, sebisa mungkin jangan gunakan kata “Jangan”, melainkan berikan perintah dengan kalimat positif. Yakinkan diri Anda sendiri bahwa anak Anda adalah anak yang baik, yang ingin menyenangkan hati Anda. Jangan biarkan anak tahu bahwa Anda meragukan kepatuhannya, karena hal ini justru akan memancingnya untuk bersikap tidak patuh.

Menghargai sikap kooperatif/patuh anak
Setiap kali Anda mendapati anak melakukan perintah atau mematuhi peraturan, tunjukkan kepadanya bahwa Anda menghargai sikap taatnya tersebut. Ucapkan terima kasih, berikan senyuman, pelukan, tepukan lembut di bahu, atau komentar memuji. Anda bisa mengatakan juga kepadanya bahwa apa yang dilakukannya membuat Anda senang.

Menjalin relasi dekat dengan anak
Semakin anak menyukai atau menyayangi kita, semakin ia bersedia bekerjasama dengan kita, karena ia ingin menyenangkan hati kita. Berikan waktu dan perhatian yang dibutuhkan anak, juga sering-seringlah mengekspresikan rasa sayang kepadanya. Bersikaplah responsif terhadap kebutuhan anak, dan tunjukkan empati terhadap apa yang dirasakannya. Ini semua akan membuat anak menikmati kebersamaannya dengan orangtua, dan menciptakan relasi yang dekat antara anak-orangtua.

Bersikap fleksibel
Sekalipun bersikap konsisten dalam menjaga peraturan adalah penting, tidak berarti orangtua harus selalu menerapkan harga mati untuk sebuah peraturan yang telah dikeluarkan. Izinkan anak untuk ‘menang’ sekali waktu, menawar peraturan Anda sedikit saja ketika ada suatu alasan yang bisa dimaklumi.


Sekalipun orangtua menginginkan sikap patuh anak, orangtua perlu memahami juga bahwa ketidakpatuhan anak dalam batas wajar adalah sesuatu hal yang normal. Jangan semata-mata melihat ketidakpatuhan anak sebagai tanda bahwa anak tidak mencintai atau menghargai diri Anda. Anak merupakan seorang pribadi yang seiring bertambahnya usia, menjadi semakin ingin mandiri. Sebagai orangtua, Anda berkewajiban membimbingnya, namun jangan lupa untuk perlahan-lahan melepaskan kendali Anda, memberinya kebebasan semakin banyak saat ia menjadi dewasa dan telah mampu bertanggung jawab.

Stanley I. Greenspan mengatakan, bahwa untuk membentuk sikap kooperatif (patuh) anak, kuncinya adalah menjaga keseimbangan antara KASIH - OTONOMI - BATASAN dalam pengasuhan. 
 
"Often when one or more of these three factors of nurturance, autonomy, and limit-setting are absent, power struggles result." (Stanley I. Greenspan; First Feelings; p. 157-162).
 
Last reviewed : Agustus 2015

 
Sumber inspirasi :
Schaefer, C.E., Millman, H.L. 1981. How to Help Children with Common Problems. New York : Van Nostrand Reinhold Company.
Baca lebih lanjut...

Selasa, 24 Mei 2011

Pendidikan Seksualitas di Rumah


Memberikan pendidikan seks di rumah adalah jalan untuk mencegah anak tersesat, memperoleh info yang tidak akurat dan menangkap pesan yang salah mengenai hal-hal seksualitas. Akan tetapi, seringkali orangtua bingung bagaimana memberikan pendidikan seksualitas kepada anak, kapan memulai pembicaraan, dan apa saja yang perlu dibahas. Mengajarkan seksualitas kepada anak sesungguhnya tidak sesulit dan serumit yang dibayangkan orangtua. Di bawah ini akan disajikan bagaimana orangtua dapat mengambil langkah untuk memberikan pendidikan seksualitas kepada anak.

Persiapan
Pertama-tama, yang perlu dilakukan adalah memahami apa saja isi pendidikan seksualitas yang dibutuhkan. Topik seksualitas tidak terbatas pada arti hubungan seksual saja. Pendidikan seksualitas yang komprehensif, selain meliputi penjelasan mengenai fungsi organ reproduksi, perkembangan organ reproduksi saat pubertas, hubungan seksual dan penyakit menular seksual, juga mencakup pengajaran tentang identitas dan peran sebagai pria/wanita, cara pandang terhadap tubuh, serta ekspresi kasih sayang dan keintiman hubungan.
Selanjutnya, orangtua perlu menyadari nilai-nilai apa saja berkaitan dengan seksualitas yang ingin ditanamkan pada diri anak. Misalnya saja mungkin orangtua ingin agar anak mencintai identitas dan perannya sebagai pria/wanita, tidak berhubungan seks sebelum menikah, atau agar anak memiliki kepercayaan diri dan kemandirian yang cukup untuk tidak bergantung pada sosok pacar. Dengan menyadari nilai-nilai ini, orangtua bisa membuat pendidikan seksualitas yang diajarkan lebih terarah.
Bicara seputar seksualitas sering menimbulkan rasa tidak nyaman, padahal, jika orangtua belum nyaman untuk bicara tentang seksualitas, anak akan menangkap rasa tidak nyaman tersebut, dan akibatnya, tidak akan bisa berkonsentrasi dengan baik untuk mendengarkan apa yang dibicarakan. Oleh karena itu, jika dirasa perlu, orangtua bisa terlebih dahulu berlatih, bisa dengan cara berbicara sendiri, atau pura-pura menjelaskan kepada suami/istri atau teman. Cobalah menyebut organ seksual seolah-olah seperti ketika menyebut organ tubuh lain, mata atau telinga.

Membicarakan topik seksualitas sesuai usia anak
Pendidikan seksualitas idealnya tidak hanya diberikan ketika anak menginjak masa remaja. Ketika anak masih kecil, orangtua bisa memulainya dengan mengajarkan nama bagian-bagian tubuh, termasuk alat kelamin. Katakan bahwa ada bagian tubuh yang boleh dilihat, disentuh orang lain, tapi ada juga bagian tubuh yang perlu dijaga privasinya. Ajak anak untuk merawat tubuhnya dengan baik, mencintai tubuhnya, tanpa menganggap alat kelamin sebagai organ tubuh yang kotor atau memalukan. Ajarkan juga perilaku yang tepat, yang sesuai dengan perannya sebagai pria atau wanita, misalnya cara berpakaian, cara berkomunikasi dengan orang lain.
Ketika anak hendak memasuki masa remaja, orangtua perlu menjelaskan perubahan fisik yang akan terjadi dan dialami pada masa pubertas. Hal ini penting dilakukan agar anak tidak cemas saat mengalami perubahan-perubahan tersebut, dan bisa secepat mungkin menyesuaikan diri dan menjadi nyaman dengan dirinya. Ajari anak untuk merawat dan menjaga kebersihan dirinya, termasuk bagaimana menangani menstruasi atau mimpi basah dengan baik saat mengalaminya. Orangtua juga tak boleh lupa menyampaikan bahwa pada masa remaja, mulai timbul gairah seksual, yang meskipun terkadang dirasa begitu kuat, tetap bisa dikendalikan. Ajarkan berbagai cara untuk menyalurkan energi berlebihan tersebut, misalnya dengan olahraga atau aktivitas lain yang menjadi hobi.

Topik pembicaraan saat anak berusia balita :
+ Pengenalan bagian-bagian tubuh, termasuk nama yang benar dari alat kelamin
+ Pemahaman tentang privasi, bagaimana menjaga privasi diri dan menghormati privasi orang lain
+ Pemahaman tentang sentuhan fisik sebagai komunikasi, sentuhan yang tepat dan sentuhan yang tidak tepat
+ Asal bayi
Pada usia 3 tahun, ketika anak bertanya tentang asal adik bayi, orangtua bisa berkata bahwa adik bayi tumbuh dari sebuah telur yang ada dalam perut ibu, lalu keluar melalui jalan khusus, yaitu vagina. Sedangkan untuk anak usia 6 tahun ke atas, orangtua bisa menjelaskan bahwa ketika pria dan wanita saling mencintai, mereka ingin dekat satu sama lain, kemudian sel sperma yang dimiliki pria bersatu dengan sel telur yang ada dalam perut wanita, dan jadilah calon bayi yang tumbuh dalam perut wanita.





Topik pembicaraan saat anak menjelang masa pubertas :
+ Perubahan fisik anak perempuan (tinggi, bentuk tubuh, tumbuhnya payudara, rambut)
+ Perubahan fisik anak laki-laki (tinggi, bentuk tubuh, otot, pertumbuhan penis dan testis, tumbuhnya rambut)
+ Perubahan suara anak laki-laki
+ Menstruasi pada anak perempuan
+ Mimpi basah pada anak laki-laki
+ Hubungan seksual, pembuahan, dan kehamilan
+ Munculnya gairah seksual pada anak laki-laki maupun perempuan
+ Masalah jerawat dan keringat berlebih
+ Ketidakstabilan emosi atau perubahan emosi yang menyertai masa puber

+ Menjalin relasi dengan lawan jenis, pacaran, kencan, perilaku seksual (apa yang mungkin terjadi saat kencan), berbicara asertif terhadap pacar

Tips menanamkan nilai
Usaha orangtua untuk memberikan pendidikan seksualitas kepada anak umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi orangtua untuk menanamkan nilai-nilai seksualitas. Orangtua mempunyai harapan besar agar anak tidak sampai salah langkah dalam kehidupan seksualitasnya, sehingga anak mempunyai kehidupan seksualitas yang bahagia. Ini merupakan suatu hal yang sangat baik, hanya saja sayangnya, motivasi dan harapan orangtua tersebut seringkali membuat pendidikan seksualitas yang diberikan terlalu fokus pada usaha untuk menasihati anak agar bertingkah laku tertentu. Anak pun jadi merasa bosan dan tidak suka diajak bicara orangtua, dan akhirnya, penanaman nilai justru menjadi tidak efektif.
Dalam menanamkan nilai, orangtua perlu menjaga keseimbangan antara pengajaran nilai dan pengakuan akan aspek positif dari seksualitas. Hindari mengarahkan pembicaraan semata-mata hanya untuk menyampaikan pesan-pesan saja tanpa mengakui bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bagian kehidupan yang indah dan bisa dinikmati. Kebanyakan orangtua khawatir bahwa mengakui aspek positif dari seksualitas akan membuat anak lebih termotivasi untuk berhubungan seks, padahal sesungguhnya, dengan mengakui aspek positif dari seksualitas, orangtua justru membuat pintu hati anak terbuka lebih lebar untuk menerima nilai-nilai yang akan diajarkan. Sikap jujur orangtua akan menciptakan kesan di mata anak bahwa orangtua merupakan figur yang menarik untuk diajak bicara seputar seksualitas.
Anak perlu memahami hakikat seks sebagai perwujudan relasi yang begitu intim dengan seseorang. Seks tidak ada artinya jika dilakukan tanpa sebuah relasi intim, mengingat setiap manusia punya kebutuhan yang lebih mendasar daripada sekedar kebutuhan fisik, yaitu kebutuhan akan relasi intim dengan seseorang.
Usaha untuk menghindarkan anak dari hubungan seksual pra nikah bisa dilakukan dengan mengajarkan bahwa orang bisa menikmati rasa bahagia yang timbul dari sebuah kedekatan tanpa harus berhubungan seks. Hubungan seks juga bukan satu-satunya cara mengekspresikan kasih sayang dan keintiman. Pada seks yang membahagiakan, juga melekat tanggung jawab, selain tanggung jawab untuk menghadapi segala konsekuensi yang timbul akibat hubungan seks tersebut, juga tanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan pasangan dan menjaga relasi dengan pasangan.

Berbagai kesempatan bisa digunakan orangtua untuk membicarakan seksualitas sembari menanamkan nilai-nilai. Saat anak bertanya, saat berjalan-jalan di mal, atau saat melihat iklan televisi, semuanya bisa digunakan sebagai jalan untuk membuka pembicaraan, apalagi sekarang ini seksualitas sangat sering digunakan sebagai daya tarik dalam pesan-pesan komersial (ingat, bicara tentang seksualitas tidak sesempit bicara soal arti hubungan seksual saja). Kesediaan orangtua untuk mendiskusikan hal seputar seksualitas akan membuat anak menyadari bahwa orangtua adalah sosok yang tepat untuk diajak bicara, sehingga tidak perlu mencari informasi dari sumber-sumber lain, dan tak hanya itu saja, kesediaan orangtua membicarakan hal-hal seputar seksualitas menjaga pintu komunikasi antara orangtua dan anak selalu terbuka. Ketika anak merasa nyaman membicarakan hal seputar seksualitas dengan orangtua, orangtua bisa yakin bahwa anak akan terbuka juga untuk membicarakan banyak hal lain. 


Last reviewed : Juli 2014

Baca lebih lanjut...

Memarahi Anak


“Marah adalah tanda bahwa orangtua sayang anaknya.” Ungkapan ini memang benar. Memarahi atau menegur merupakan bentuk kepedulian orangtua terhadap anak. Orangtua yang menyayangi anaknya, tidak akan membiarkan anaknya, melainkan segera memberikan teguran begitu melihat anak melakukan sesuatu yang salah.
Usia kanak-kanak merupakan saat yang tepat bagi orangtua untuk menetapkan batasan-batasan guna membentuk karakter anak, sebab pada usia ini, anak masih lemah dan sangat bergantung pada orangtua. Ketika usianya masih kecil, anak mudah menerima aturan yang diberikan orangtua, ini berbeda dengan kondisi saat ia remaja, di mana ia sudah ingin dihargai sebagai seorang yang dewasa dan mandiri sehingga menuntut kebebasan yang lebih banyak. Oleh karena itu, selagi anak masih kecil, orangtua sepatutnya menggunakan kesempatan emas ini untuk mengarahkan perilaku anak dan menginternalisasikan nilai-nilai yang ingin ditanamkan pada diri anak.
Sekalipun marah mengandung maksud baik, jika tidak dilakukan dengan bijaksana, tidak akan membawa hasil seperti yang diharapkan orangtua. Marah yang dilakukan sembarangan bahkan bisa berdampak buruk pada konsep diri anak. Dalam uraian berikut ini, akan disajikan tips bagaimana memarahi anak agar benar-benar bersifat konstruktif atau membangun anak.
Cara yang baik untuk menegur dan memarahi anak :

Menyatakan dengan jelas perilaku mana yang kurang tepat
Orangtua perlu memastikan bahwa anak tahu perilaku mana yang tidak disetujui orangtua atau yang merupakan suatu kesalahan. Mengatakan, “Kamu nakal” belum cukup jelas menunjuk perilaku anak dibandingkan mengatakan, “Kamu memukul adikmu.” Cara menghindari pesan yang tak jelas adalah dengan berbicara tentang kejadian di mana anak melakukan perilaku yang tidak diinginkan.

Memberikan alasan mengapa perilaku itu kurang tepat
Anak butuh memahami alasan mengapa orangtua tidak setuju terhadap perilakunya. Kemukakan bahwa Anda tidak suka ia melakukan perbuatan itu karena perbuatan itu membuat Anda atau orang lain merasa tidak nyaman, atau karena perbuatan itu merugikan diri anak sendiri. Alasan tidak perlu diberikan panjang lebar, mungkin cukup satu-dua kalimat saja, namun yang penting jelas dimengerti anak. Pada kebanyakan kasus, anak langsung bisa mengetahui mengapa orangtua tidak menyukai perilakunya, sebab orangtua sudah pernah menyampaikan pesan berkaitan dengan perilaku itu atau atau pernah memberikan larangan sebelumnya. Seandainya orangtua belum pernah mengajarkan hal itu dan ingin membahas perilaku itu secara lebih mendalam, tunda beberapa saat sesudah orangtua dan anak sama-sama tenang. Ketika suasana hatinya nyaman, anak lebih mau mendengarkan dan lebih terbuka untuk menerima pesan yang disampaikan orangtua.

Menunjukkan cara bagaimana berperilaku yang lebih baik
Orangtua harus memastikan anak tahu apa yang diharapkan darinya. Meski hanya dengan kalimat singkat, beri tahu anak bagaimana cara berperilaku yang lebih baik. Anak akan merasa senang jika ia mengetahui ada jalan untuk memperbaiki kesalahan dan mendapatkan kembali perhatian positif dari orangtua. Seringkali orangtua menganggap anak sudah tahu dengan sendirinya bagaimana seharusnya berperilaku, padahal belum tentu demikian. Ketika sedang dilanda emosi negatif, anak cenderung bingung dan sulit menemukan sendiri bagaimana cara bertindak yang lebih baik. Sebagai contoh, seorang anak yang dimarahi ibunya karena merobohkan bangunan balok kayu adiknya hingga sang adik menangis, bukannya menyusun kembali bangunan yang dirobohkannya, melainkan malah melanjutkan aksinya dengan melempar sang adik dengan balok kayu, karena ia dilanda rasa frustrasi, takut, dan menyesal. Rasa takut yang menyergap anak begitu mendengar orangtuanya marah, sering membuat anak tidak bisa berpikir jernih bagaimana bertindak dengan lebih baik.

Menghindari memberikan hukuman fisik
Hukuman fisik, seperti mencubit, memukul, menjewer, harus dihindari orangtua. Alasannya, hukuman fisik ini akan menciptakan emosi negatif pada diri anak, yaitu perasaan ditolak, marah, terluka, sedih, tertekan, dan takut. Oleh karena saat dihukum anak-anak cenderung tidak berani mengungkapkan rasa marahnya kepada orangtua, biasanya anak hanya akan memendam rasa marah itu. Rasa marah yang ditekan ini selanjutnya berkembang menjadi perasaan bermusuhan atau dendam terhadap orangtua. Alasan lain mengapa orangtua perlu menghindari hukuman fisik adalah karena jika orangtua langsung main tangan saat marah, anak tidak belajar tentang pengendalian emosi. Menghukum secara fisik memberikan pesan kepada anak bahwa menggunakan cara kekerasan untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan adalah hal yang boleh dilakukan, sehingga di kemudian hari anak cenderung mencontohnya.

Menghindari memberikan label atau ungkapan yang bersifat menghakimi secara sepihak
Label adalah satu sifat buruk yang dicapkan pada anak. Orangtua berharap dengan melontarkan label, anak mudah mengerti sifat buruk mana yang harus diubahnya. Akan tetapi, penggunaan label berisiko membuat anak mengembangkan konsep diri sesuai dengan sifat buruk yang terkandung pada label tersebut. Ini disebabkan karena label begitu mudah diingat anak. Selain itu, anak cenderung percaya pada kata-kata orang dewasa, sehingga ketika mendengar orangtua mengatakan bahwa dirinya mempunyai sifat buruk tersebut, anak melihat bahwa dirinya memang memiliki sifat buruk seperti itu. Sebagai contoh, jika orangtua memarahi anak dengan berkata, “Kamu malas,” anak pun akan memandang bahwa dirinya adalah seorang pemalas. Semakin sering orangtua mengucapkan label, akan semakin kuat tertanam konsep diri seperti label tersebut. Mengucapkan label juga sama dengan menyampaikan nada pesimis terhadap anak sehingga membuat anak jadi tidak mampu melihat kemungkinan bahwa dirinya bisa menjadi lebih baik. Akibatnya, anak justru melakukan perilaku buruk tersebut terus-menerus. Seorang anak yang mempunyai konsep diri sebagai anak nakal, misalnya, akan terus melakukan perilaku-perilaku yang dikategorikan sebagai nakal, seolah-olah hendak membuktikan bahwa dirinya memang nakal. Berikut ini beberapa contoh kalimat memarahi anak dengan menggunakan label atau ungkapan yang menghakimi secara sepihak :
“Kamu ceroboh.”
“Kamu boros.”
“Kamu tukang bohong.”
“Kamu jahat.”
“Kamu anak egois.”
“Kamu tidak sayang mama-papa.”
“Kamu senang kalau adikmu menangis.”

Menghindari generalisasi dengan menggunakan kata “selalu,” “tidak pernah,” “kalau ada kamu.”
Contoh kalimat memarahi anak dengan menggeneralisasi adalah :
“Kamu memang selalu menyusahkan.”
“Kamu selalu bikin papa-mama malu.”
“Kamu tidak pernah membantu mama.”
“Kalau ada kamu, semua pasti berantakan.”
Generalisasi semacam ini biasanya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Mungkin karena begitu kesalnya orangtua, tingkat frekuensi anak melakukan perilaku buruk yang sebenarnya hanya pada tingkat ‘sering’, misalnya, jadi dinyatakan orangtua sebagai ‘selalu’, atau tingkat frekuensi anak melakukan perilaku baik yang ‘jarang’, jadi dinyatakan sebagai ‘tidak pernah.’ Dengan melakukan generalisasi seperti ini, berarti orangtua mengabaikan dan melupakan begitu saja perilaku baik yang pernah dilakukan anak. Semestinya, sekecil apapun kebaikan yang dilakukan anak, orangtua tetap memperhitungkannya. Anak akan bersemangat meningkatkan perilaku baiknya jika ia tahu orangtua memperhatikan perilaku baik tersebut. Ketika anak merasa bahwa orangtua sama sekali mengabaikan usahanya untuk berperilaku baik, anak pun jadi patah semangat dan tidak termotivasi lagi untuk meningkatkan perilaku baiknya.

Menghindari memberikan ancaman yang tak masuk akal
Sebaiknya orangtua tidak mengancam anak bila tahu tidak akan pernah menjalankan isi ancaman tersebut. Anak tidak akan menjadi takut, dan justru meremehkan kata-kata orangtua jika orangtua sering memberikan ancaman yang hanya omong kosong belaka. Sebagai contoh, jangan berkata, “Rino, kalau kamu malas belajar terus, papa akan masukkan kamu ke asrama,” atau “Siska, kalau kamu nakali adikmu terus, Mama buang si Kitty kucingmu.”

Menunjukkan sikap tegas
Menegur atau memarahi anak tidak perlu menggunakan suara keras atau bentakan, yang penting, ketika berbicara dengan anak, orangtua yakin dan percaya diri. Orangtua harus menyadari bahwa posisinya memang lebih superior daripada anak, dan bahwa memberikan arahan kepada anak adalah sebuah kewajiban orangtua. Orangtua tidak perlu khawatir bahwa anak akan membenci orangtua jika orangtua menegur atau memarahi anak. Cukup banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa sebenarnya anak justru merasa aman jika ia diberi batasan daripada jika orangtua membiarkannya berperilaku sesuka hati. Anak yang diasuh dengan diberi kebebasan sepenuhnya untuk melakukan apapun, akan menjadi bingung karena tidak mengetahui dengan pasti apa yang dikehendaki orangtua, sehingga tumbuh menjadi pribadi yang ragu-ragu dan kurang percaya diri. Lain halnya dengan anak yang menerima arahan dari orangtua, ia paham bagaimana bertingkah laku seperti harapan orangtua, sehingga ia pun merasa aman. Perasaan aman ini selanjutnya membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri. Jadi, tidak alasan untuk menjadi bimbang jika suatu ketika Anda harus menegur atau memarahi anak. Ketika orangtua sudah menetapkan batasan, orangtua berkewajiban menjaga secara konsisten agar batasan itu tidak dilanggar.
Baca lebih lanjut...